Anda seorang laki-laki? Sebaiknya anda membaca tulisan ini hingga selesai. Anda seorang perempuan? Anda juga sebaiknya membaca tulisan ini untuk disampaikan kepada laki-laki yang anda sayangi.
Sebagai seorang yang memeluk agama Islam maka sudah sepantasnya kita menjadikan al-Qur’an dan Hadits Nabi sebagai pedoman hidup kita, sebagai pengatur setiap jejak langkah dan setiap tarikan nafas dalam hidup kita.
Salah satu syariat yang sangat agung yang diwajibkan kepada setiap muslim yaitu Shalat. Saya yakin, anda setiap hari melaksanakannya. Saya pun yakin, anda mengetahui kalau shalat termasuk Rukun Islam. Tapi tahukah anda bahwa bagi setiap laki-laki muslim yang tidak memiliki udzur syar’i shalat 5 waktu itu diwajibkan dilakukan secara berjamaah di masjid?

Dalil dari Al-Qur’an Mengenai Wajibnya Shalat Berjama’ah di Masjid bagi Laki-Laki

“Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.” (QS. Al-Baqarah: 43)
Ayat tersebut menunjukkan perintah melaksanakan shalat bersama orang-orang yang melaksanakan shalat yaitu dengan berjama’ah di masjid.

Hadits-Hadits Mengenai Wajibnya Shalat Berjama’ah di Masjid bagi Laki-Laki

Mari kita simak hadits-hadits Nabi mengenai hal ini.

Hadits 1:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Telah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang lelaki buta, kemudian ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku tidak punya orang yang bisa menuntunku ke masjid, lalu dia mohon kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar diberi keringanan dan cukup shalat di rumahnya.’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan kepadanya. Ketika dia berpaling untuk pulang, beliau memanggilnya, seraya berkata, ‘Apakah engkau mendengar suara adzan (panggilan) shalat?’, ia menjawab, ‘Ya.’ Beliau bersabda, ‘Maka hendaklah kau penuhi (panggilan itu)’. (HR. Muslim)

Pada hadits tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memerintahkan seorang laki-laki yang buta yang tidak memiliki penuntun untuk tetap shalat berjama’ah di masjid. Maka bagaimana dengan kita yang masih bisa melihat dengan jelas? Tentu lebih diwajibkan lagi.

Hadits 2:
“Aku pernah berniat memerintahkan shalat agar didirikan kemudian akan kuperintahkan salah seorang untuk mengimami shalat, lalu aku bersama beberapa orang sambil membawa beberapa ikat kayu bakar mendatangi orang-orang yang tidak hadir dalam shalat berjama’ah, dan aku akan bakar rumah-rumah mereka itu.” (Muttafaq ‘alaih)

Pada hadits di atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam dengan tegas akan membakar rumah orang-orang yang tidak hadir shalat berjama’ah. Maka ancaman tegas dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut menunjukkan wajibnya shalat berjama’ah di masjid bagi seorang laki-laki.

Hadits 3:
Dari Ibnu Abbas, bahwasanya Nabi shallallaahu alaihi wasallam bersabda, ‘Barangsiapa mendengar panggilan adzan namun tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya, terkecuali karena udzur (yang dibenarkan dalam agama)’. (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan lainnya, hadits shahih)

Pada hadits tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan “tidak ada shalat baginya”, hal ini menunjukkan wajibnya memenuhi panggilan adzan bagi setiap laki-laki yang mendengarnya, yaitu dengan mendatangi masjid untuk shalat berjama’ah.

Bagi Perempuan, Lebih Baik Shalat di dalam Rumah

Adapun untuk perempuan maka lebih baik shalat di rumahnya sendiri.
“Sebaik-baik tempat shalat bagi kaum wanita adalah bagian paling dalam (tersembunyi) dari rumahnya.” (HR. Ahmad dan Al-Baihaqi, hadits shahih)

Namun, seorang suami hendaknya tidak menghalangi istrinya yang hendak pergi ke masjid untuk ikut shalat berjama’ah dengan syarat menutup aurat dan tidak memakai wangi-wangian serta memperhatikan adab-adab yang lain.
“Jangan kamu melarang istri-istrimu (shalat) di masjid, namun rumah mereka sebenarnya lebih baik untuk mereka.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Al-Hakim, hadits shahih)
“Janganlah kalian melarang para wanita (pergi) ke masjid dan hendaklah mereka keluar dengan tidak memakai wangi-wangian.” (HR. Ahmad dan Abu Daud, hadits shahih)

Keutamaan Shalat Berjama’ah di Masjid

Shalat berjama’ah di masjid memiliki banyak keutamaan, antara lain
1. Shalat berjama’ah di masjid lebih baik 27 kali dari pada shalat sendirian
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Shalat berjama’ah dua puluh tujuh kali lebih utama daripada shalat sendirian. (Muttafaq ‘alaih)

2. Dinaikkan derajatnya dan dihapuskannya dosa pada setiap langkah kaki seseorang yang menuju ke masjid untuk shalat berjama’ah
3. Dibacakan shalawat dan dido’akan oleh para malaikat
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ‘Bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Shalat seseorang dengan berjama’ah lebih besar pahalanya sebanyak 25 atau 27 derajat daripada shalat di rumahnya atau di pasar (maksudnya shalat sendirian). Hal itu dikarenakan apabila salah seorang di antara kamu telah berwudhu dengan baik kemudian pergi ke masjid, tidak ada yang menggerakkan untuk itu kecuali karena dia ingin shalat, maka tidak satu langkah pun yang dilangkahkannya kecuali dengannya dinaikkan satu derajat baginya dan dihapuskan satu kesalahan darinya sampai dia memasuki masjid. Dan apabila dia masuk masjid, maka ia terhitung shalat selama shalat menjadi penyebab baginya untuk tetap berada di dalam masjid itu, dan malaikat pun mengucapkan shalawat kepada salah seorang dari kamu selama dia duduk di tempat shalatnya. Para malaikat berkata, ‘Ya Allah, berilah rahmat kepadanya, ampunilah dia dan terimalah taubatnya.’ Selama ia tidak berbuat hal yang mengganggu dan tetap berada dalam keadaan suci’. (Muttafaq ‘alaih)

4. Dapat berkumpul dengan orang-orang shalih, dan keutamaan-keutamaan lainnya

Laki-laki, Mari Shalat Berjama’ah di Masjid

Melalui tulisan ini, kami mengajak setiap laki-laki muslim untuk senantiasa melakukan shalat berjama’ah di masjid. Semoga Allah memudahkan setiap langkah kaki kita menuju masjid.
Tunjukkan bahwa dirimu laki-laki dengan merutinkan shalat berjama’ah di masjid.
“Laki, shalat berjama’ah di masjid”

Semoga Allah meluruskan niat kami dalam menulis.
Wallahu waliyyut taufiq…

Pagi Hari yang Indah, 4 Syawwal 1432 H, 3 September 2011, @Home-sweet-home Arjawinangun, Kab. Cirebon

copas dari http://rahadianfaisal.blogspot.com

BERDO’A DENGAN SUARA LEMBUT

Posted: 11 Desember 2011 in Uncategorized

Pendahuluan
Berdo’a adalah merupakan ibadah yang diperintahkan Allah kepada hambaNya. Allah subhanahuwata’ala berjanji akan mengabulkan hambaNya yang berdo’a kepadaNya.
QS. Al-Mu’min/Ghafir 40 : 60
وَقَالَ رَبُّكُمْ اُدْعُوْنِيْ أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُوْنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ
Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina”.

Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
ان الدعاء هوالعبادة ثم قرأ : ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ
“Sesungguhnya do’a itu ibadah, kemudian beliau membaca : Berdoalah kepadaKu niscaya Aku perkenankan bagimu” (HR. Ashabul Sunan dan Al-Hakim).
[Ihya Ulumiddin 2, hal. 395]

Berdo’a Dengan Suara Lembut
Dalil 1
QS. Al-A’raf (7) ayat 55 :
اُدْعُوْا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَّخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ
Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.

Dalil 2
QS. Al-A’raf (7) ayat 205 :
واذكر ربك في نفسك تضرعا وخيفة ودون الجهر من القول بالغدو والآصال ولا تكن من الغافلين
Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.

Dalil 3
QS. Maryam 19 : 3
إذ نادى ربه نداء خفيا
yaitu tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut.

Dalil 4
QS. Al-Israa 17 : 110
قل ادعوا الله أو ادعوا الرحمن أيا ما تدعوا فله الأسماء الحسنى ولا تجهر بصلاتك ولا تخافت بها وابتغ بين ذلك سبيلا
Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaulhusna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu”

Dalil 5
عن أبي موسى الأشعري قال رفع الناس أصواتهم بالدعاء فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم «أيها الناس اربعوا على أنفسكم فإنكم لا تدعون أصم ولا غائباً إن الذي تدعون سميع قريب»
Dari Abu Musa Al-Asy’ari berkata : ”Kami datang bersama dengan Rasulullah. Ketika kami dekat dengan Madinah beliau membaca takbir, dan manusia membaca takbir dan mengeraskan suara mereka. Maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
”Hai manusia, tenangkanlah diri kalian, karena sesungguhnya kalian bukanlah menyeru (Tuhan) yang tuli dan bukan pula (Tuhan) yang ghaib. Sesungguhnya Tuhan yang kalian seru itu Maha Mendengar dan Maha Dekat.” (HR. Al-Bukhari 4/2076)
[lihat Tafsir Al-Qurthubi 7, hal. 532]

Dalil 6
Dari Abu Musa Al-Asy’ari berkata : ”Kami datang bersama dengan Rasulullah. Ketika kami dekat dengan Madinah beliau membaca takbir, dan manusia membaca takbir dan mengeraskan suara mereka. Maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
ياأيها الناس إن الذي تدعون ليس باصم ولا غائب إن الذي تدعون بينكم و بين اعناق ركابكم
Hai manusia, sesungguhnya zat yang kamu berdoa (kepadaNya) tidaklah tuli dan bukan pula (Tuhan) yang ghaib. Sesungguhnya Dzat yang kamu berdo’a (kepadaNya) itu diantara kamu dan antara tengkuk-tengkuk kendaraanmu”. (Mutafaq ‘Alaih)
[Ihya Ulumiddin 2, hal. 401]

Pendapat Para ’Ulama Tentang Adab Berdo’a
1. Ibnu Katsir
Imam Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan :
أرشد تبارك وتعالى عباده إلى دعائه الذي هو صلاحهم في دنياهم وأخراهم فقال {ادعوا ربكم تضرعاً وخفية} قيل معناه تذللاً واستكانه, وخفية كقوله {واذكر ربك في نفسك} الاَية
وفي الصحيحين عن أبي موسى الأشعري قال رفع الناس أصواتهم بالدعاء فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم «أيها الناس اربعوا على أنفسكم فإنكم لا تدعون أصم ولا غائباً إن الذي تدعون سميع قريب» الحديث, وقال ابن جريج عن عطاء الخراساني عن ابن عباس في قوله {تضرعاً وخفية} قال السر
وقال ابن جرير تضرعاً تذللاً واستكانة لطاعته وخفية يقول بخشوع قلوبكم وصحة اليقين بوحدانيته وربوبيته فيما بينكم وبينه لا جهراً مراءاة وقال عبد الله بن المبارك بن فضالة عن الحسن قال: إن كان الرجل لقد جمع القرآن وما يشعر به الناس وإن كان الرجل لقد فقه الفقه الكثير وما يشعر به الناس وإن كان الرجل ليصلي الصلاة الطويلة في بيته وعنده الزوار وما يشعرون به ولقد أدركنا أقوماً ما كان على الأرض من عمل يقدرون أن يعملوه في السر فيكون علانية أبداً ولقد كان المسلمون يجتهدون في الدعاء وما يسمع لهم صوت إن كان إلا همساً بينهم وبين ربهم وذلك أن الله تعالى يقول {ادعوا ربكم تضرعاً وخفية} وذلك أن الله ذكر عبداً صالحاً رضي فعله فقال {إذ نادى ربه نداء خفياً} وقال ابن جريج يكره رفع الصوت والنداء والصياح في الدعاء ويؤمر بالتضرع والاستكانه. ثم روي عن عطاء الخراساني عن ابن عباس في قوله {إنه لا يحب المعتدين} في الدعاء ولا في غيره.
Allah subhanahuwata’ala memberikan petunjuk kepada hamba-hambaNya agar mereka berdoa memohon kepadaNya untuk kebaikan urusan dunia dan akhirat mereka. Untuk itu Allah subhanahuwata’ala berfirman :
ادعوا ربكم تضرعا وخفية إنه لا يحب المعتدين
Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
Menurut satu pendapat, makna yang dimaksud ialah mengucapkan do’a dengan perasaan yang rendah diri, penuh harap dan dengan suara yang lemah lembut. Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam firmanNya :
واذكر ربك في نفسك
Dan sebutlah nama Tuhanmu dalam hatimu… (QS. Al-A’raf 7 : 205)

Didalam kitab Sahihain disebutkan dari Abu Musa Al-Asy’ari yang menceritakan bahwa suara orang-orang terdengar keras saat mengucapkan do’anya. Maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
أيها الناس اربعوا على أنفسكم فإنكم لا تدعون أصم ولا غائباً إن الذي تدعون سميع قريب
Hai manusia, tenangkanlah diri kalian, karena sesungguhnya kalian bukanlah menyeru (Tuhan) yang tuli dan bukan pula (Tuhan) yang ghaib. Sesungguhnya Tuhan yang kalian seru itu Maha Mendengar dan Maha Dekat.
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ata Al-Khurasani dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firmanNya : “Dengan berendah diri dan suara yang lembut”
Yang dimaksud dengan khiifah adalah suara yang pelan.
Ibnu Jarir mengatakan, makna tadarru’ ialah berendah diri dan tenang dalam ketaatan kepadaNya. Yang dimaksud dengan khiifah ialah dengan hati yang khusyuk, penuh keyakinan terhadap Keesaan dan KekuasaanNya terhadap semua yang ada antara kalian dan Dia, bukan dengan suara yang keras untuk pamer.
Abdullah Ibnul Mubarrak meriwayatkan dari Mubarak Ibnul Fudalah, dari Al-Hasan yang mengatakan bahwa sesungguhnya dahulu ada orang yang benar-benar hafal Al-Qur’an seluruhnya, tetapi tidak ada seorangpun yang mengetahuinya. Dahulu ada orang yang benar-benar banyak menguasai ilmu fiqih tetapi tidak ada seorangpun yang mengetahuinya. Sesungguhnya dahulu ada orang yang benar-benar gemar melakukan shalat yang panjang-panjang di dalam rumahnya, sedangkan di rumahnya banyak pengunjung yang bertamu tetapi mereka tidak mengetahuinya.Sesungguhnya kita sekarang menjumpai banyak orang yang tiada suatu amalpun di muka bumi ini mereka mampu mengerjakannya secara sembunyi, tetapi mereka mengerjakannya secara terang-terangan. Padahal sesungguhnya kaum muslim di masa lalu selalu berupaya dengan keras dalam do’anya tanpa terdengar suaranya selain hanya bisikan antara mereka dan Tuhannya.Demikian itu karena Allah telah telah berfirman dalam kitabNya :
Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. (QS. Al-A’raf 7 : 55)
Dan firman Allah Subhanahu wata’ala ketika menceritakan seorang hamba yang saleh yang Dia ridhoi perbuatannya, yaitu :
Yaitu tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut. (QS. Maryam 19 : 3)
Ibnu Juraij mengatakan bahwa makruh mengeraskan suara, berseru, dan menjerit dalam berdo’a; hal yang diperintahkan ialah melakukannya dengan penuh rasa rendah diri dan hati yang khusyuk. Kemudian Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ata Al-Khurasani dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firmanNya :
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS. Al-A’raf 7 : 55)
Yakni dalam berdo’a dan dalam hal yang lainnya.
[Tafsir Ibnu Katsir 8, hal. 359].

2. Imam Al-Qurthubi
Imam Qurthubi dalam kitab Tafsir Al-Qurthubi menjelaskan :
قوله تعالى: “ادعوا ربكم” هذا أمر بالدعاء وتعبد به. ثم قرن جل وعز بالأمر صفات تحسن معه، وهي الخشوع والاستكانة والتضرع. ومعنى “خفية” أي سرا في النفس ليبعد عن الرياء؛ وبذلك أثنى على نبيه زكريا عليه السلام إذ قال مخبرا عنه: “إذ نادى ربه نداء خفيا” [مريم: 3].
ونحوه قول النبي صلى الله عليه وسلم: (خير الذكر الخفي وخير الرزق ما يكفي). والشريعة مقررة أن السر فيما لم يعترض من أعمال البر أعظم أجرا من الجهر. قال الحسن بن أبي الحسن: لقد أدركنا أقواما ما كان على الأرض عمل يقدرون على أن يكون سرا فيكون جهرا أبدا. ولقد كان المسلمون يجتهدون في الدعاء فلا يسمع لهم صوت، إن هو إلا الهمس بينهم وبين ربهم. وذلك أن الله تعالى يقول: “ادعوا ربكم تضرعا وخفية”. وذكر عبدا صالحا رضي فعله فقال: “إذ نادى ربه نداء خفيا” [مريم: 3].
وقد استدل أصحاب أبي حنيفة بهذا على أن إخفاء “آمين” أولى من الجهر بها؛ لأنه دعاء. وقد مضى القول فيه في “الفاتحة”.
وروى مسلم عن أبي موسى قال: كنا مع النبي صلى الله عليه وسلم في سفر – وفي رواية في غزاة – فجعل الناس يجهرون بالتكبير – وفي رواية فجعل رجل كلما علا ثنية قال: لا إله إلا الله – فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (أيها الناس أربعوا على أنفسكم إنكم لستم تدعون أصم ولا غائبا إنكم تدعون سميعا قريبا وهو معكم). الحديث.
Firman Allah, “Berdoalah kepada Tuhanmu” adalah perintah untuk berdo’a dan menyembah-Nya. Kemudian Allah menyandingkan perintah ini dengan sifat-sifat yang membuat do’a tersebut menjadi lebih baik. Seperti bersikap khusyu’, bersuara lembut, dan memohon dengan bersimpuh dihadapanNya. Maka lafadz “Wakhufyah” adalah bersuara pelan di dalam hati untuk menghindari perasaan riya. Oleh karena itu Allah memuji Nabi Zakaria di dalam firmanNya,
إذ نادى ربه نداء خفيا
Yaitu tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut. (QS. Maryam 19 : 3)
Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
خير الذكر الخفي وخير الرزق ما يكفي
“Sebaik-baik dzikir adalah dengan suara yang lembut, sedangkan sebaik-baik rezeki adalah yang mencukupi” (Hadits ini disebutkan oleh As-Suyuthi dalam Al-Jami’us Saghir no. 4009 dari riwayat Ahmad, Ibnu Hibban dan Baihaqi).
Syariat telah menetapkan bahwa berbuat sesuatu yang baik dengan sembunyi-sembunyi lebih besar pahalanya daripada melakukannya secara terang-terangan. Makna seperti ini telah dijelaskan dalam surat Al-Baqarah.

Al Hasan bin Abu Al Hasan berkata, “Kami mengetahui ada beberapa kaum di muka bumi ini yang mampu nelakukan sesuatu dengan sembunyi-sembunyi akan tetapi mereka selalu melakukannya secara terang-terangan. Kaum muslimin bersungguh-sungguh dalam berdo’a, namun tidak terdengar suara mereka. Doa yang mereka panjatkan hanya berupa bisikan antara mereka dengan Tuhan mereka” (Lihat Tafsir Al Hasan Al Bashri 1/380).
Hal itu karena Allah Subhanahu wata’ala berfirman, “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.” Begitu pula Allah menyebutkan seorang hamba yang shalih karena Dia ridha atas perbuatan hamba tersebut. Allah Subhanahu wata’ala berfirman, “Yaitu tatkala ia berdo’a kepada Tuhannya dengan suara yang lembut” (QS. Maryam 19 : 3)
Para pengikut Abu Hanifah berdalil dengan ayat ini bahwa mengucapkan aamiin dengan suara lembut lebih utama daripada diucapkan dengan suara keras. Karena lafadz tersebut termasuk do’a. Pembahasan mengenai hal ini telah dijelaskan dalam surah Al-Fatihah.
Muslim meriwayatkan dari Abu Musa, dia berkata, “Kami pernah bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah perjalanan –dalam riwayat lain disebutkan, dalam sebuah peperangan- , lalu orang-orang mengeraskan suara takbir—dalam riwayat lain disebutkan bahwa ada seseorang setiap kali mengeraskan suaranya saat mengucapkan, Laa ilaaha illallaah—, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Wahai manusia, lembutlah terhadap diri kalian sendiri. Sesungguhnya kalian tidak sedang berdo’a kepada dzat yang tuli dan ghaib. Kalian sedang berdo’a kepada Dzat Yang Maha Mendengar dan dekat, Dia selalu bersama kalian” (HR. Al Bukhari).
[Tafsir Al-Qurtubhi 7, hal. 530-532]

3. Ibnu Jarir Ath-Thabari
Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam Kitab Tafsir Ath-Thabari menjelaskan :
يقول تعالى ذكره: ادعوا أيها الناس ربكم وحده, فأخلصوا له الدعاء دون ما تدعون من دونه من الاَلهة والأصنام. تَضَرّعا يقول: تذللاً واستكانة لطاعته. وَخُفْيَةً يقول: بخشوع قلوبكم وصحة اليقين منكم بوحدانيته فيما بينكم وبينه, لا جهارا مراءاة, وقلوبكم غير موقنة بوحدانيته وربوبيته, فعل أهل النفاق والخداع لله ولرسوله. كما:
1ـ حدثني المثنى, قال: حدثنا سويد بن نصر, قال: أخبرنا ابن المبارك, عن المبارك فضالة, عن الحسن, قال: إن كان الرجل لقد جمع القرآن وما يشعر جاره, وإن كان الرجل لقد فقه الفقه الكثير وما يشعر به الناس, وإن كان الرجل ليصلي الصلاة الطويلة في بيته وعنده الزوّار وما يشعرون به. ولقد أدركنا أقواما ما كان على الأرض من عمل يقدرون على أن يعملوه في السرّ فيكون علانية أبدا. ولقد كان المسلمون يجتهدون في الدعاء وما يسمع لهم صوت إن كان إلاّ همسا بينهم وبين ربهم وذلك أن الله يقول: ادْعُوا رَبّكُمُ تَضَرّعا وَخُفْيَةً وذلك أن الله ذكر عبدا صالحا, فرضي فعله فقال: إذْ نادَى رَبّهُ نِدَاءً خَفِيّا.
2ـ حدثنا ابن حميد, قال: حدثنا جرير, عن عاصم الأحول, عن أبي عثمان النهدي, عن أبي موسى, قال: كان النبيّ صلى الله عليه وسلم في غزاة, فأشرفوا على واد يكبرون ويهللون ويرفعون أصواتهم, فقال: «أيّها النّاسُ ارْبَعُوا على أنْفُسِكُمْ, إنّكُمْ لا تَدْعُونَ أصَمّ وَلا غائِبا إنّكُمْ تَدْعُونَ سَمِيعا قَرِيبا مَعَكُمْ».
3ـ حدثنا القاسم, قال: حدثنا الحسين, قال: ثني حجاج, عن ابن جريج, عن عطاء الخراساني, عن ابن عباس, قوله: ادْعُوا رَبّكُمْ تَضَرّعا وَخْفْيَةً قال: السرّ.

Allah berfirman : Wahai manusia, berdo’alah hanya kepada Tuhanmu. Bersikap ikhlaslah dalam berdoa kepadaNya tanpa berdo’a kepada yang lain seperti kepada tuhan-tuhan lain dan berhala-berhala.
Firman Allah “Berserah diri” maknanya adalah merendahkan diri dan bersikap tenang dalam menaatiNya.

Firman Allah “Dan suara yang lembut” maknanya adalah, dengan hatimu yang khusyu dan keyakinan yang benar darimu akan keesaanNya diantara dirimu denganNya. Bukan dengan suara yang terlalu keras dan hati yang tidak yakin akan keesaanNya dan pemeliharaanNya. Seperti tipuan yang dilakukan oleh orang-orang mubafik kepada Allah dan RasulNya.
Riwayat-riwayat yang menjelaskan hal tersebut adalah :
1. Al-Mutsanna menceritakan kepadaku, ia berkata : Suwaid bin Nashr menceritakab kepada kami, ia berkata : Ibnu Al-Mubarak memberitakan kepada kami dari Al-Mubarak bin Fadhalah, dari Al-Hasan, ia berkata, ”Jika seseorang telah mengkaji Al-Qur’an secara keseluruhan, maka tetangganya tidak merasakannya. Jika seseorang itu memahami banyak pemahaman, maka orang lain tidak merasakannya. Jika seseorang melaksanakan shalat yang lama di rumahnya, lalu ada tamu yang berkunjung kepadanya, maka para tamu itu tidak merasakannya. Kami telah bertemu dengan beberapa orang di atas bumi ini, sebenarnya mereka mampu melakukan suatu amal secara rahasia, akan tetapi selamanya ia justru melakukannya secara terang-terangan. Pada zaman dahulu kaum muslim berdo’a bersungguh-sungguh, akan tetapi orang di sekeliling mereka tidak mendengarnya melainkan hanya seperti pembicaraan antara ia dengan Tuhannya, karena Allah berfirman : ”Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut” Sebab Allah menyebutkan tentang seorang hambaNya yang shalih dan Dia menyukai perbuatan hambaNya itu, ”yaitu tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut” (QS. Maryam 19 : 3) (Ibnu Al-Mubarak dalam Az-Zuhd 1/49 dan As-Suyuthi dalam Ad-Durr Al-Mansur 3/476.

2. Ibnu Humaid menceritakan kepada kami, ia berkata : Jarir menceritakan kepada kami dari Ashim Al-Ahwal, dari Abu Utsman An-Nahdi, dari Abu Musa, ia berkata : Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam berada dalam suatu peperangan, mereka berada di suatu lembah, mereka bertakbir dan mengucapkan kalimat ’Laa ilaaha illallaah’ dengan mengangkat suara tinggi. Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda, ”Wahai manusia, konsistenlah terhadap urusan kamu. Sesungguhnya kamu bukan menyeru kepada Tuhan yang tuli dan yang gaib, akan tetapi kamu menyeru kepada Dia Yang Maha Mendengar, Maha Dekat, dan Dia bersama kamu” (Al-Bukhari dalam Al-Maghazi no. 4205; Muslim dalam Adz-Dzikr wa ad-Du’a no. 44).

3. Al-Qasim menceritakan kepada kami, ia berkata : Al-Husein menceritakan kepada kami, ia berkata : Hajjaj menceritakan kepadaku dari Ibnu Juraij, dari Atha Al-Khurasani, dari Ibnu Abbas, tentang ayat, ”Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut”. Ia berkata, ”Maknanya adalah, dengan rahasia” (Al-Baghawi dalam Ma’alim At-Tanzil 2/482.)

4. Jalaludin As-Suyuthi dan Jalaludin Al-Mahali

Jalaludin As-Suyuthi dan Jalaludin Al-Mahali dalam kitab Tafsir Jalalain menjelaskan :
{ ادعوا ربكم تضرعا } حال تذللا { وخفية } سرا { إنه لا يحب المعتدين } في الدعاء بالتشدق ورفع الصوت
(Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri) menjadi hal, yakni merendahkan diri
(dan dengan suara yang lembut) secara berbisik-bisik
(Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas) di dalam berdoa. Seperti banyak berbicara dengan suara yang keras.

5. Imam Syafi’i
Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm berkata :

وأي إمام ذكر الله بما وصفت جهرا أو سرا أو بغيره فحسن وأختار للامام والمأموم أن يذكر الله بعد الانصراف من الصلاة ويخفيان الذكر إلا أن يكون إماما يجب أن يتعلم منه فيجهر حتى يرى أنه قد تعلم منه ثم يسر فإن الله عزو وجل يقول ولا تجهر بصلاتك ولا تخافت بها
Saya memilih untuk berdzikir kepada Allah setelah selesai shalat dengan merendahkan suara bagi imam dan makmum, kecuali apabila ia adalah seorang imam yang wajib diambil pelajaran darinya, maka ia harus mengeraskan bacaan dzikirnya hingga ia mengira bahwa orang-orang telah mengerti dan mendapat pelajaran darinya. Kemudian ia membaca perlahan-lahan, karena sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala berfirman,
“Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya” (QS. Ali-Imran 17 : 110).
[Ringkasan Kitab Al-Umm 1, hal. 197].

6. Imam Ghazali
Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin menjelaskan tata kesopanan berdo’a :

خفض الصوت بين المخافتة والجهر لما روي أن أبا موسى الأشعري قال‏:‏ قدمنا مع رسول الله فلما دنونا من المدينة كبر وكبر الناس ورفعوا أصواتهم فقال النبي صلى الله عليه وسلم يا أيها الناس إن الذي تدعون ليس بأصم ولا غائب إن الذي تدعون بينكم وبين أعناق ركابكم ‏”‏

Melunakkan suara antara menyembunyikan dan mengeraskan karena diriwayatkan bahwasanya Abu Musa Al-Asy’ari berkata :
“Kami datang bersama dengan Rasulullah. Ketika kami dekat dengan Madinah beliau membaca takbir, dan manusia membaca takbir dan mengeraskan suara mereka. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
يا أيها الناس إن الذي تدعون ليس بأصم ولا غائب إن الذي تدعون بينكم وبين أعناق ركابكم
‘Wahai manusia, sesungguhnya Dzat Yang kamu berdo’a (kepadaNya) tidaklah tuli dan ghaib. Sesungguhnya Dzat yang berdoa (kepadaNya) itu diantara kamu dan antara tengkuk-tengkuk kendaraanmu,” (Mutafaq Alaih).
[Kitab ihya Ulumiddin 2, hal. 401].

Penutup
Uraian di atas bukanlah pendapat penulis pribadi, melainkan pendapat para ulama ahli tafsir terkemuka di kalangan umat islam. Karena Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam mengingatkan agar kita tidak menafsirkan alquran sesuai dengan pikiran sendiri, melainkan harus diserahkan kepada para ahlinya, dalam hal ini para ulama ahli tafsir.
At-Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah, beliau bersabda :
اِتَّقُوا الْحَدِيْثَ عَنِّي اِلَّا مَا عَلِمْتُمْ فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأُ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ، وَمَنْ قَالَ فِي القرآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأُ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Jagalah hadits dariku kecuali yang telah aku ajarkan. Siapa saja yang berdusta atas namaku secara sengaja maka hendaklah dia menempati tempat duduknya yang terbuat dari api neraka. Siapa saja yang menafsirkan Al-Quran dengan menggunakan pendapatnya sendiri maka hendaknya dia menempati tempat duduknya dari neraka”
[HR. At-Tirmidzi, Bab Tentang Orang Yang Menafsirkan Al-Quran dengan Pendapatnya Sendiri, no. 2591]
[lihat Tafsir Al-Qurthubi 1, hal. 75]

Diriwayatkan dari Jundab, dia berkata, Rasulullah bersabda :
وَمَنْ قَالَ فِي القرآنِ بِرَأْيِهِ فَأَصَابَ فَقَدْ أَخْطَأَ
“Siapa yang berbicara mengenai Al-Quran dengan pendapatnya sendiri kemudian benar, dia tetap dianggap salah”
[HR. At-Tirmidzi, Bab Tentang Orang Yang Menafsirkan Al-Quran dengan Pendapatnya Sendiri, no. 2592]
[lihat Tafsir Al-Qurthubi 1, hal. 76]

Sumber Rujukan :
-Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Puataka Imam Syafi’i, 2003.
-Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Pustaka Azzam, Jakarta, 2007.
-Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Jalalain, Sinar Baru, Bandung, 2003
-Ibnu Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Pustaka Azzam, Jakarta, 2008.
-Imam Bukhari, Sahih Bukhari, Darul Fikri, Beirut, 2006.
-Imam Muslim, Sahih Muslim, Darul Ilmi, Surabaya
-Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al-Umm, Pustaka Azzam, Jakarta, 2005
-Imam Ghazali, Ihya ‘Ulumiddin, Asy-Syifa, Semarang

 

Oleh : Masnun Tholab
http://www.masnuntholab.blogspot.com

Memahami Dua Jenis Rezeki

Posted: 20 November 2011 in Uncategorized

Alhamdulillah, baru saja dapat rezeki”. Ketika mendengar kalimat ini, kebanyakan orang berpikir bahwa obyek yang sedang dibicarakan dalam kalimat tersebut adalah rezeki duniawi, lebih khusus lagi adalah rezeki berupa harta. Kalau kita mau mencermati, sebenarnya rezeki berupa harta adalah sebagian saja dari rezeki yang Allah berikan kepada makhluk-Nya. Namun, sifat kebanyakan manusia yang jauh dari rasa syukur dan lebih berorientasi dengan gemerlap dunia yang fana, terkadang hanya membatasi rezeki dengan harta duniawi semata. Padahal sesungguhnya Allah Ta’ala telah banyak memberi rezeki kepada manusia dengan bentuk yang beragam.

Rezeki Umum dan Rezeki Khusus

Rezeki yang Allah berikan kepada makhluk ada dua bentuk :

1. Rezeki yang sifatnya umum (الرزق العم )

Yakni segala sesuatu yang memberikan manfaat bagi badan,  berupa harta, rumah, kendaraan,  kesehatan, dan selainnya, baik berasal dari yang halal maupun haram. Rezeki jenis ini Allah berikan kepada seluruh makhluk-Nya, baik orang muslim maupun orang kafir.

Banyaknya pemberian jenis rezeki yang pertama ini tidak menunjukkan kemuliaan seseorang di sisi Allah. Begitu pula sedikitnya rezeki dunia yang Allah berikan kepada seseorang tidak menunjukkan kehinaan orang tersebut. Allah Ta’ala berfirman,

فَأَمَّا الْإِنسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ

Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku” . (QS. Al Fajr :15-16)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Allah Ta’ala berfirman mengingkari keyakinan (sebagian) manusia. (Maksud ayat ini) bahwasanya jika Allah meluaskan rezeki mereka tujuannya adalah untuk menguji mereka dengan rezeki tersebut. Sebagian orang meyakini bahwa rezeki dari Allah merupakan bentuk pemuliaan terhadap mereka. Namun yang benar bukanlah demikian, bahkan rezeki tersebut merupakan ujian dan cobaan untuk mereka sebagaimana firman Allah :

. نُسَارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْرَاتِ بَل لَّا يَشْعُرُونَ. أَيَحْسَبُونَ أَنَّمَا نُمِدُّهُم بِهِ مِن مَّالٍ وَبَنِينَ

Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa),Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar” (QS. Al Mu’minun:55-56).

Demikian pula sebaliknya. Jika Allah memeberinya cobaan dan mengujinya dengan menyempitkan rezekinya, sebagian orang menyangka Allah sedang menghinakannya. Maka Allah katakan : { كَلا } (sekali-kali tidak). Yang dimaksud bukanlah seperti persangkaan mereka. Allah memberikan harta kepada orang yang Allah cintai dan kepada orang yang tidak Allah cintai. Allah juga menyempitkan harta terhadap orang yang Allah cintai maupunn orang yang tidak dicintai-Nya.  Sesungguhnya semuanya bersumber pada ketaatan kepada Allah pada dua kondisi tersebut (baik ketika mendapat rezeki yang luas maupun rezeki yang sempit). Jika seseorang  kaya (mendapat banyak rezeki harta) dia bersyukur kepada Allah dengan pemberian tersebut, dan jika miskin (sempit rezeki) dia bersabar.” (Tafsiru al Quran al ‘Adzim, Imam Ibnu Katsir rahimahullah)

Banyak sedikitnya rezeki duniawi adalah ujian semata, bukan standar kecintaan Allah terhadap hamba. Rezeki harta sebagai ujian Allah atas hamba-Nya, untuk mengetahui siapakah di antara hambanya yang bersyukur dan bersabar.

2. Rezeki yang sifatnya khusus (الرزق الخاص )

Yakni segala sesuatu yang membuat tegak agama seseorang. Rezeki jenis ini berupa ilmu yang bermanfaat dan amal shalih serta semua rezeki halal yang membantu seseorang untuk taat kepada Allah. Inilah rezeki yang Allah berikan khusus kepada orang-orang yang dicintai-Nya. Inilah rezeki yang hakiki, yang menghantarkan seseorang akan mendpat kebahagiaan dunia akherat.

Rezeki jenis ini Allah khususkan bagi orang-orang mukmin. Allah menyemprunakan keutamaan bagi mereka, dan Allah anugerahkan bagai mereka surga di hari akhir kelak.  Allah Ta’ala berfirman,

وَمَن يُؤْمِن بِاللَّهِ وَيَعْمَلْ صَالِحاً يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً قَدْ أَحْسَنَ اللَّهُ لَهُ رِزْقاً

Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan mengerjakan amal yang saleh niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya Allah memberikan rezki yang baik kepadanya “ (QS. Ath Thalaq:11).

Dan juga firman-Nya :

هَذَا ذِكْرٌ وَإِنَّ لِلْمُتَّقِينَ لَحُسْنَ مَآَبٍ (49) جَنَّاتِ عَدْنٍ مُفَتَّحَةً لَهُمُ الْأَبْوَابُ (50) مُتَّكِئِينَ فِيهَا يَدْعُونَ فِيهَا بِفَاكِهَةٍ كَثِيرَةٍ وَشَرَابٍ (51) وَعِنْدَهُمْ قَاصِرَاتُ الطَّرْفِ أَتْرَابٌ (52) هَذَا مَا تُوعَدُونَ لِيَوْمِ الْحِسَابِ (53) إِنَّ هَذَا لَرِزْقُنَا مَا لَهُ مِنْ نَفَادٍ (54

Ini adalah kehormatan (bagi mereka). Dan sesungguhnya bagi orang-orang yang bertakwa benar-benar (disediakan) tempat kembali yang baik, (yaitu) syurga ‘Adn yang pintu-pintunya terbuka bagi mereka, di dalamnya mereka bertelekan (diatas dipan-dipan) sambil meminta buah-buahan yang banyak dan minuman di surga itu. Dan pada sisi mereka (ada bidadari-bidadari) yang tidak liar pandangannya dan sebaya umurnya Inilah apa yang dijanjikan kepadamu pada hari berhisab. Sesungguhnya ini adalah benar-benar rezki dari Kami yang tiada habis-habisnya. “ (QS. Shaad: 49-54)

Hanya Allah Pemberi Rezeki

Di antara nama-nama Allah adalah “Ar Rozzaq” dan “ Ar Rooziq”. Nama “Ar Rozzaq” terdapat dalam firman Allah,

إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ

Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh” (QS. Adz Dzariyat:58)

Sedangkan nama “ Ar Rooziq”terdapat dalam firman-Nya,

وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْواً انفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِماً قُلْ مَا عِندَ اللَّهِ خَيْرٌ مِّنَ اللَّهْوِ وَمِنَ التِّجَارَةِ وَاللَّهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ

Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: “Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezki” (QS. Al Jumu’ah:11)

Dan juga firman-Nya,

وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ قُتِلُوا أَوْ مَاتُوا لَيَرْزُقَنَّهُمُ اللَّهُ رِزْقاً حَسَناً وَإِنَّ اللَّهَ لَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ

Dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, kemudian mereka di bunuh atau mati, benar-benar Allah akan memberikan kepada mereka rezki yang baik (surga). Dan sesungguhnya Allah adalah sebaik-baik pemberi rezki” (QS. Al Hajj: 58)

Dari nama Allah Ar Rozzaq dan Ar Rooziq terkandung didalamnya sifat rezeki {الرزقُ} (ar ruzqu). Dalam siifat ar ruzqu bagi Allah, terkandung di dalamnya dua makna, yaitu banyaknya rezeki yang Allah berikan pada setiap makhluk, dan banyak/luasnya jumlah makhluk yang mendapat rezeki dari-Nya :

1. Rezeki yang banyak

Maksudnya rezeki yang Allah berikan kepada setiap makhluknya sangat banyak. Masing-masing makhluk Allah mendapat jatah rezeki yang banyak.  Kita sebagai manusia mendapat rezeki berupa nikmat yang sangat banyak. Nikmat sehat, anggota tubuh yang sempurna,  tempat tinggal, keluarga, harta, dan masih banyak nikmat-nikmat yang lainnya. Itu semua merupakan rezeki dari Allah  yang sangat banyak dan tak terhingga. Allah Ta’ala berfirman :

وَآتَاكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِن تَعُدُّواْ نِعْمَتَ اللّهِ لاَ تُحْصُوهَا إِنَّ الإِنسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ

Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim:34)

2. Rezeki yang luas

Rezeki yang Allah berikan meliputi seluruh makhluk-Nya sesuai dengan kondisinya masing-masing. Masing-masing setiap makhluk mendapat rezeki yang banyak dari Allah. Manusia, jin, seluruh binatang dan tumbuhan, serta semua yang ada di langit dan di bumi mendapat rezeki dari Allah. Seluruh makhluk tersebut dipenuhi rezekinya oleh Allah semata. Ini menunjukkan luasnya rezeki yang Allah berikan pada makhluk-Nya. Allah berfirman :

وَمَا مِن دَآبَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللّهِ رِزْقُهَا

Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberinya rezeki“ (QS. Huud:6)

Semangatlah Mencari Rezeki

Saudarakau, ingatlah bahwa rezeki tidaklah sebatas harta dunia. Ilmu yang bermanfaat adalah rezeki, kemudahan untuk beramal shalih adalah rezeki, istri yang shalihah adalah rezeki, anak-anak juga termasuk rezeki. Kewajiban kita untuk senantiasa bersyukur atas rezeki yang Allah berikan. Bahkan rezeki yang hakiki adalah rezeki yang dapat menegakkan agama kita sehingga mengantarkan kita selamat di akherat. Inilah rezeki yang sesungguhnya. Rezeki yang hanya Allah berikan kepada hamba-hamba pilihan-Nya.

Maka saudaraku, setelah kita mengetahui bahwa ilmu dan amal shalih termasuk rezeki yang bermanfaat, kita hendaknya bersemangat untuk menggapainya. Sebagaimana kita bersemangat dan bahkan menghabiskan waktu kita untuk mengais rezeki dunia, mestinya kita juga semangat untuk mencari rezeki yang lebih bermanfaat, yaitu ilmu dan amal shalih. Rezeki yang akan menyelamatkan kita di dunia dan akherat kita.

Rezeki telah Ditentukan

Perlu diperhatikan, bahwa seluruh rezeki bagi makhluk  telah Allah tentukan. Kaya dan miskin, sakit dan sehat, senang dan susah, termasuk juga ilmu dan amal shalih seseorang pun telah ditentukan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إن أحدكم يجمع خلقه في بطن أمه أربعين يوما نطفة ثم علقه مثل ذلك ثم يكون مضغة مثل ذلك , ثم يرسل إليه الملك فينفخ فيه الروح , ويؤمر بأربع كلمات : بكتب رزقه , وأجله , وعمله , وشقي أم سعيد . فوالله الذي لا إله غيره إن أحدكم ليعمل بعمل أهل الجنة حتى ما يكون بينه وبينها إلا ذراع فيسبق عليه الكتاب فيعمل بعمل أهل النار , وإن أحدكم ليعمل بعمل أهل النار حتى ما يكون بينه وبينها إلا ذراع فيسبق عليه الكتاب فيعمل بعمل أهل الجنة

“Sesungguhnya tiap-tiap kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nutfah, kemudian menjadi ‘Alaqoh (segumpal darah) selama itu juga lalu menjadi Mudhghoh (segumpal daging) selama itu juga, kemudian diutuslah Malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya lalu diperintahkan untuk menuliskan 4 kata : Rizki, Ajal, Amal dan Celaka/bahagianya. maka demi Alloh yang tiada Tuhan selainnya, ada seseorang diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli surga sehingga tidak ada jarak antara dirinya dan surga kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Alloh lalu ia melakukan perbuatan ahli neraka dan ia masuk neraka. Ada diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli neraka sehingga tidak ada lagi jarak antara dirinya dan neraka kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Alloh lalu ia melakukan perbuatan ahli surga dan ia masuk surga.”(HR. Bukhari 3208 dan HR.Muslim 2643)

Dengan mengetahui hal ini, bukan berrati kita pasarah dan tidak berusaha mencari rezeki. Sebagian orang memiliki anggapan yang salah dalam memahami hal ini. Mereka hanya pasrah terhadap takdir tanpa melakukan usaha sama sekali. Sunngguh, ini adalah kesalah yang nyata.  Bukankah Allah juga memerintahkan kita untuk mengambil sebab dan melarang kita dari bersikap malas? Apabila kita sudah mengambil sebab dan mendapatkan hasil yang tidak kita inginkan, maka kita tidak boleh sedih dan berputus asa, termasuk dalam mencari rezeki, karena semuanya sudah merupakan ketetapan Allah.  Oleh karena itu Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

احرص على ما ينفعك واستعن بالله ولا تعجز وإن أصابك شيء فلا تقل لو أني فعلت كان كذا وكذا ولكن قل قدر الله وما شاء فعل

Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah dan jangalah kamu malas! Apabila kamu tertimpa sesuatu, janganlah kamu mengatakan :’Seaindainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau begitu’, tetapi katakanlah : ‘Qoddarullahu wa maa sya’a fa’ala” (HR. Muslim 2664)

Semoga tulisan rigkas ini bermanfaat. Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad

 

Referensi Utama :

  1. Syarhu al ‘Aqidah al Waashitiyah, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah
  2. Fiqhu al Asmai al Husna, Syaikh ‘Abdurrozaq bin ‘Abdil Muhsni al Badr hafidzahullah

Penulis: dr. Adika Mianoki
Artikel www.muslim.or.id

Keutamaan Adzan

Posted: 16 November 2011 in Uncategorized

Setiap hari, selama lima kali kaum muslimin mendengar seruan adzan yang berkumandang di masjid-masjid. Adzan ini memberitahukan telah masuknya waktu shalat agar manusia-manusia yang tengah sibuk dengan pekerjaannya istirahat sejenak memenuhi seruan Allah ‘azza wajalla. Demikian pula, yang tengah terlelap tidur menjadi terbangun lantas berwudhu dan mengenakan pakaian terbaiknya untuk menunaikan shalat berjama’ah.

Pengertian Adzan

Adzan secara bahasa bermakna al i’lam yang berarti pengumuman atau pemberitahuan, sebagaimana firman Allah ‘azza wajalla

وَأَذَانٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الأكْبَرِ أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُه

“Dan pengumuman dari Allah dan Rasul-Nya kepada ummat manusia di hari haji akbar bahwa Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari kaum musyrikin…..”(QS. At Taubah : 3)

Adapun secara syar’i adzan adalah pemberitahuan masuknya waktu shalat dengan ,lafazh-lafazh yang khusus. (Al Mughni, 2: 53, Kitabush Shalat, Bab Adzan. Dinukil dari Taisirul Allam , 78).

Ibnul Mulaqqin rahimahullah berkata, “Para ulama’ menyebutkan 4 hikmah adzan : (1) menampakkan syi’ar Islam, (2) menegakkan kalimat tauhid, (3) pemberitahuan masuknya waktu shalat, (4) seruan untuk melakukan shalat berjama’ah.” (Taudhihul Ahkam, 1: 513)

Keutamaan Adzan

Salah satu tanda sempurnanya syari’at Islam ini adalah memberi dorongan kepada ummatnya untuk melaksanakan ibadah dengan menyebutkan keutamaan ibadah tersebut. Begitu pula adzan, banyak riwayat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan tentang keutamaan adzan dan orang yang menyerukan adzan (muadzin).

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلاَةِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ وَلَهُ ضُرَاطٌ، حَتَّى لاَ يَسْمَعَ التَّأْذِيْنَ، فَإِذَا قَضَى النِّدَاءَ أَقْبَلَ حَتَّى إِذَا ثَوَّبَ بِالصَّلاَةِ أَدْبَر

”Apabila diserukan adzan untuk shalat, syaitan pergi berlalu dalam keadaan ia kentut hingga tidak mendengar adzan. Bila muadzin selesai mengumandangkan adzan, ia datang hingga ketika diserukan iqamat ia berlalu lagi …” (HR. Bukhari no. 608 dan Muslim no. 1267)

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu juga, ia mengabarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الْأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِِلَّا أَنْ يَسْتَهِمُوْا عَلَيْهِ لاَسْتَهَمُوْا

”Seandainya orang-orang mengetahui besarnya pahala yang didapatkan dalam adzan dan shaf pertama kemudian mereka tidak dapat memperolehnyakecuali dengan undian niscaya mereka rela berundi untuk mendapatkannya…” (HR. Bukhari no. 615 dan Muslim no. 980)

Muawiyah radhiallahu ‘anhu berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الْمؤَذِّنُوْنَ أَطْوَلُ النَّاسِ أَعْنَاقًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ

”Para muadzin adalah orang yang paling panjang lehernya pada hari kiamat.” (HR. Muslim no. 850)

Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu mengabarkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ يَسْمَعُ مَدَى صَوْتِ الْمُؤَذِّنِ جِنٌّ وَلاَ إِنْسٌ وَلاَ شَيْءٌ إِلاَّ شَهِدَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

”Tidaklah jin dan manusia serta tidak ada sesuatu pun yang mendengar suara lantunan adzan dari seorang muadzin melainkan akan menjadi saksi kebaikanbagi si muadzin pada hari kiamat.” (HR. Bukhari no. 609)

Ibnu ’Umar radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يُغْفَرُ لِلْمْؤَذِّنِ مُنْتَهَى أََذَانِهِ وَيَسْتَغْفِرُ لَهُ كُلُّ رَطْبٍ وَيَابِسٍ سَمِعَهُ

”Diampuni bagi muadzin pada akhir adzannya. Dan setiap yang basah atau pun yang kering yang mendengar adzannya akan memintakan ampun untuknya.”(HR. Ahmad 2: 136. Syaikh Ahmad Syakir berkata bahwa sanad hadits ini shahih)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan para imam dan muadzin,

اللَّهُمَّ أَرْشِدِ الْأَئِمّةَ وَاغْفِرْ لِلَمْؤَذِّنِيْنَ

”Ya Allah berikan kelurusan bagi para imam dan ampunilah para muadzin.” (HR. Abu Dawud no. 517 dan At-Tirmidzi no. 207, dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa’ no. 217)

Aisyah radhiallahu ‘anha berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْإِمَامُ ضَامِنٌ وَالْمُؤَذِّنُ مُؤْتَمَنٌ، فَأَرْشَدَ اللهُ الْأَئِمّةَ وَعَفَا عَنِ المْؤَذِّنِيْنَ

“Imam adalah penjamin sedangkan muadzin adalah orang yang diamanahi. Semoga Allah memberikan kelurusan kepada para imam dan memaafkanparamuadzin.” (HR. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya no.1669, dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib no. 239) (lihat Shahih Fiqih Sunnah, Bab Adzan)

Demikianlah keutamaan-keutamaan yang terdapat pada adzan dan muadzin. Semoga kita termasuk dari golongan orang-orang yang ketika mendengar sebuah hadits, segera mengamalkannya. Wallahu a’lam.

Penulis: Arif Rahman Habib

Artikel www.muslim.or.id

Ciri-Ciri Pengikut Kebenaran

Posted: 10 November 2011 in Uncategorized

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan:

Ciri-ciri ahlul haq (pengikut kebenaran) ialah:

  • Tidak terkenal dengan nama tertentu di tengah-tengah manusia, yang nama tersebut menjadi simbol golongan tersebut.
  • Mereka tidak mengikat dirinya dengan satu amalan, sehingga dijuluki karena amalan tersebut, dan dikenal dengan amalan tersebut tanpa dikenal dengan amal lainnya. Ini merupakan penyakit dalam beribadah, yaitu ibadah yang terikat (ubudiyyah muqayyadah). Adapun ibadah yang mutlak (ubudiyyah muthlaqah) akan menjadikan pelakunya tidak dikenal dengan nama tertentu dari jenis-jenis ibadah yang dilakukannya. Ia akan memenuhi setiap panggilan ibadah apa pun bentuknya. Dia memiliki ‘saham’ bersama setiap kalangan ahli ibadah. Dia tidak terikat dengan model, isyarat, nama, pakaian, maupun cara-cara buatan.
  • Jika ditanya: “Siapa ustadzmu?” jawabnya: “Rasulullah”.
  • Jika ditanya: “Apa jalanmu?” jawabnya: “ittiba’ ”.
  • Jika ditanya: “Apa pakaianmu?” jawabnya: “ketakwaan”.
  • Jika ditanya: “Apa maksudmu?” jawabnya: “Mencari ridha Allah”.
  • Jika ditanya: “Di mana markasmu?” jawabnya:

﴿ فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ رِجَالٌ لا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْماً تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ﴾(النور:36_37)

Di mesjid-mesjid yang Allah perintahkan agar dibangun dan dimuliakan, serta banyak disebut nama-Nya di sana lewat tasbih dan shalat di pagi maupun petang hari. Merekalah lelaki sejati yang tidak tersibukkan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut terhadap hari Kiamat yang kedahsyatannya dapat memutar balikkan hati dan penglihatan (An Nur: 36-37).

  • Jika ditanya: “Keturunan siapa kamu?”, jawabnya: “Keturunan Islam”.
  • Jika ditanya: “Apa makanan dan minumanmu?” jawabnya (sambil menyitir hadits Nabi tentang unta temuan):

ما لك ولها ؟! معها حذاؤها وسقاؤها،ترد الماء وترعى الشجر حتى تلقى ربها.

“Apa urusanmu dengannya? Dia punya alas kaki dan tempat minum pribadi… dia bisa mencari makan dan minum sendiri, sampai bertemu dengan pemiliknya kembali”

 (Disadur dari: Madarijus Salikin, 3: 174).

Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc

Artikel www.muslim.or.id

Sebagian Ahlul bid’ah kadang berhujjah dengan mengatakan bahwa lafazh ‘kullu bid’atin dholalah’ (semua bid’ah itu sesat) dalam hadits yang masyhur itu tidak benar-benar berarti ‘semua’ tanpa kecuali. Mereka mengqiyaskannya dengan nash-nash lain yang juga mengandung lafazh ‘kullu’ namun artinya tidak ‘semua’. Seperti ayat berikut:

 “Angin yang menghancurkan segala sesuatu karena perintah Rabbnya, maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa” (Al Ahqaf: 25).

Mereka mengatakan: “Lihatlah bagaimana Allah mengatakan bahwa angin tersebut menghancurkan ‘segala sesuatu’ padahal tidak semuanya hancur, buktinya rumah mereka masih tersisa, demikian pula bumi, langit, dan sebagainya. Ini berarti bahwa kata ‘kullu’ dalam bahasa Arab tidak selamanya berarti ‘semua’ tanpa kecuali. Namun dalam sabda beliau tersebut tersisipkan sebuah kalimat yang tidak terucap, –yang menurut mereka– bunyinya ialah: “yang bertentangan dengan syari’at”. Jadi konteks sabda Nabi selengkapnya berbunyi: “Semua bid’ah –yang bertentangan dengan syari’at– adalah sesat”. Nah,mafhum-nya berarti bahwa bid’ah yang tidak bertentangan dengan syari’at tidaklah sesat…” [1]).

Kaidah untuk memahami masalah ini

Memang benar, bahwa kata-kata yang bernada umum dalam bahasa Arab[2]) tidak harus diartikan umum tanpa kecuali. Dengan memperhatikan konteks kalimat, realita, penalaran, dan nash-nash lainnya, seseorang bisa menyimpulkan apakah keumuman suatu ungkapan dalam bahasa Arab tadi masih berlaku mutlak, ataukah tidak.

Dalam ilmu ushul fiqih ada yang istilahnya ‘aammun uriida bihil ‘umuum (ungkapan umum yang maksudnya memang umum), ada pula ‘aammun makhshuush (ungkapan umum yang mengandung pengkhususan/pengecualian), bahkan ada yang ‘aammun uriida bihil khushuush (ungkapan umum yang maksudnya khusus).

Contoh untuk yang pertama (aammun uriida bihil ‘umuum) ialah ayat-ayat berikut:

 “Allah lah yang menciptakan segala sesuatu, dan Dia lah yang memelihara segala sesuatu (Az Zumar: 62).

 “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya…” (Hud: 6).

Imam Asy Syafi’i menjelaskan bahwa kesemuanya ini merupakan jenis ungkapan umum yang berlaku mutlak tanpa pengecualian[3]). Demikian pula ketika Allah Ta’ala mengatakan bahwa Dia mengetahui segala sesuatu (QS. Al Baqarah :29, 231, 282, dan lain-lain). Jelas keumuman ungkapan ini tidak boleh ditafsirkan dengan penafsiran lain karena tidak ada petunjuk atau qarinah yang mengarah ke penafsiran lainnya.

Berbeda dengan ketika Allah Ta’ala bercerita tentang angin topan yang membinasakan kaum ‘Aad;

 “Angin yang menghancurkan segala sesuatu karena perintah Rabbnya, maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa” (Al Ahqaf: 25).

Dalam ayat ini jelas bahwa ungkapan ‘segala sesuatu’ tidak berlaku umum, namun banyak yang dikecualikan. Hal ini selain tersirat dalam kelanjutan ayat ini sendiri, juga bisa kita fahami dari realita. Angin topan yang dikatakan menghancurkan segalanya tadi ternyata tidak menghancurkan langit, bumi, gunung-gunung, dan sebagainya. Ia hanya menghancurkan kaum ‘Aad saja, bahkan masih menyisakan tempat tinggal mereka.

Namun ada kalanya Al Qur’an menggunakan ungkapan umum sedang yang dimaksud hanyalah seorang. Seperti pada ayat berikut;

 “(Yaitu) orang-orang (yang menta’ati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan:”Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung” (Aali ‘Imran: 173).

Dalam tafsirnya, Imam Ath Thabary –rahimahullah– menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kata (النَّاسُ) atau ‘orang-orang yang mengatakan’ di sini hanyalah satu orang, yaitu: Nu’aim bin Mas’ud, sebagaimana yang disebutkan oleh berbagai riwayat dalam kitab-kitab sirah [4]).

Kesimpulannya, untuk menentukan apakah sebuah ungkapan yang bernada umum itu masih berlaku mutlak ataukah tidak, kita harus memperhatikan berbagai qarinah (petunjuk) yang ada, baik dari konteks kalimat itu sendiri, maupun dari dalil-dalil lain yang shahih, atau dengan realita yang ada; bukan sekedar akal-akalan dan ‘menurut hemat saya’.

Kami khawatir, dengan akal-akalan semacam ini, kelak ada yang mengatakan bahwa sabda Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam berikut akan disimpangkan pula maknanya:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ  كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ. رواه مسلم

Dari Ibnu Umar katanya; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Semua yang memabukkan adalah khamer, dan semua yang memabukkan itu haram” (H.R. Muslim no 2003).

Bila Novel Alaydrus mengartikan sabda Nabi: wa kullu bid’atin dholalah, dengan arti: semua bid’ah –yang bertentangan dengan syari’at– adalah sesat. Maka konsekuensinya dia juga harus mengartikan hadits di atas dengan cara yang sama… lantas bagaimana kira-kira dia akan mengartikannya?

Memahami muthlaq & muqayyad

Perlu kita ketahui, bahwa dalam bahasa Arab, ada yang namanya muthlaq (mutlak/tidak terbatasi) danmuqayyad (terbatasi). Misalnya ialah kalau seseorang mengatakan: “Hormatilah manusia”. Ketika mendengar kata-kata ini, yang segera kita tangkap ialah bahwa kita diperintah untuk menghormati siapa saja yang masuk dalam kategori ‘manusia’, dan inilah yang disebut muthlaq.

Namun jika kata ‘manusia’ tadi diberi sifat tertentu, seperti ‘yang beriman’ misalnya; maka keumuman perintah tadi jadi terbatasi, sesuai dengan sifat yang dimilikinya. Sehingga dengan mengatakan:“Hormatilah manusia yang beriman”, tidak setiap manusia boleh dihormati, akan tetapi hanya yang beriman saja yang boleh dihormati. Inilah yang disebut muqayyad (terbatasi).

Ringkasnya, sifat yang dilekatkan pada sesuatu terkadang berfungsi sebagai pembatas hakekat sesuatu tadi. Inilah salah satu fungsi dari qaid (pembatas makna) yang dalam hal ini berupa kata sifat.

Kendatipun demikian, tidak semua kata sifat bermakna seperti itu, bahkan dalam beberapa konteks kalimat ia bermakna lain. Perhatikanlah firman-firman Allah U berikut:

Pertama:

Dan barangsiapa menyembah ilah yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Rabbnya. Sesungguhgnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung”. (Al Mu’minun: 117). Kita tidak dapat menyimpulkan bahwa jika seseorang memiliki dalil akan keberadaan ilah selain Allah maka ia boleh menyembah selain Allah.

Kedua:

 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda, dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. (Aali ‘Imran: 130). Bolehkah seseorang menyimpulkan dari kata: “dengan berlipat ganda”, bahwa jika riba yang dipungutnya tidak berlipat ganda maka halal baginya?

Sebagaimana yang kita ketahui, yang dimaksud berlipat ganda adalah lebih dari 100 %. Berangkat dari sini, kalaulah boleh seseorang berdalil dengan mafhum (makna tersirat) dari ayat di atas, maka boleh baginya memakan riba yang kurang dari 100 %. Boleh baginya meminjami uang Rp. 1 juta kemudian meminta pelunasan sebesar Rp. 2 juta umpamanya. Ataukah maksudnya sekedar pengkhabaran akan bentuk riba di zaman jahiliyah yang pada umumnya berlipat ganda…? Karenanya ayat ini pun turun dengan bahasa yang sesuai dengan kondisi saat itu tanpa bermaksud membolehkan riba yang tidak berlipat ganda. Bagaimana menurut saudara?

Ketiga:

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats (segala sesuatu yang mendahului hubungan suami istri), berbuat fasik, dan berbantah-bantahan selama mengerjakan haji… (Al Baqarah: 197).

Bolehkah seseorang menyimpulkan dari kata: “selama mengerjakan haji”, bahwa perbuatan fasik hanya dilarang ketika musim haji saja, sedang diluar itu boleh berbuat fasik…? Ataukah ayat ini seperti ayat sebelumnya yang sekedar menggambarkan kondisi musilm haji, yang memang potensial untuk mendorong seseorang berbuat fasik. Yaitu ketika berjuta orang berdesakan di Arafah, atau ketika melontar jumrah, thawaf, sa’i, dan manasik haji lainnya; hingga manusia cenderung untuk berkata kasar kepada sesama muslim, atau main sikut, dan lain sebagainya; sehingga tidak bisa difahami bahwa perbuatan fasik tadi boleh dilakukan di luar musim haji… Yang mana kira-kira?

Keempat:

 “…Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran jika mereka menginginkan kesucian, demi mencari keuntungan duniawi… (An Nur: 33).

Bolehkah kita menyimpulkan dari kata: “jika mereka menginginkan kesucian”, bahwa jika para budak wanita tadi tidak menginginkan kesucian, maka kita boleh memaksanya melacur dan memakan uang hasil pelacuran tadi…?? Ataukah ayat ini seperti pendahulunya yang sekedar memberi gambaran akan praktekmucikari di zaman jahiliyah; yang pada umumnya dengan memaksa budak-budak wanita untuk melacur, padahal budak-budak itu ingin jadi wanita terhormat… Jelas bukan?

Syubhat Ahlul bid’ah dalam masalah ini

Sebagian ahlul bid’ah ada yang berdalil dengan hadits berikut karena tidak faham akan kaidah di atas;

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ، وفي لفظ: مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

(رواه مسلم)

“Barangsiapa mengada-adakan dalam agama kami, yang bukan berasal darinya (agama); maka ia tertolak”. Dalam lafazh lainnya disebutkan: “Barangsiapa mengamalkan sesuatu dalam agama kami, yang bukan berasal darinya; maka amalan tersebut tertolak”.[5])

Mereka mengatakan: Penambahan kalimat ‘yang bukan darinya’ (agama), merupakan bukti bahwa tidak semua yang baru berarti tertolak dan sesat. Hanya yang baru yang tidak bersumber dari agama sajalah yang tertolak dan sesat. Andaikata semua hal baru adalah sesat, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamtidak akan menambahkan kalimat tersebut. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan langsung berkata,“Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam agama kami ini, maka ia tertolak”, tetapi hal ini tidak beliau lakukan.

Kesimpulannya, selama hal baru tersebut bersumber dari Al Qur’an dan Hadits, maka ia dapat diterima oleh agama, diterima oleh Allah, dan diterima oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam [6]).

Pembaca yang budiman, mungkin setelah anda membaca uraian di atas anda akan berubah fikiran… atau setuju akan adanya bid’ah yang tidak sesat dalam agama. Tapi jangan tergesa-gesa, syubhat di atas tak lebih dari sekedar permainan bahasa saja; yang mungkin karena kelihaian penulisnya dalam bermain kata, akan tersamarkan bagi orang awam. Namun hal ini tak akan mengelabui orang yang faham akan gaya bahasa Arab; yang notabene adalah bahasa Al Qur’an dan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Bantahan terhadap syubhat ini:

Pertama: Marilah kita ingat kembali definisi bid’ah yang disebutkan oleh Al Jurjani pada pembahasan sebelumnya (hal 35). Beliau mengatakan:

Bid’ah ialah perbuatan yang menyelisihi As Sunnah (ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).Dinamakan bid’ah karena pelakunya mengada-adakannya tanpa berlandaskan pendapat seorang Imam. Bid’ah juga berarti perkara baru yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat dan tabi’in, dan tidak merupakan sesuatu yang selaras dengan dalil syar’i [7]).

Dari definisi di atas, dapat kita fahami bahwa yang namanya bid’ah itu harus menyelisihi ajaran Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak selaras dengan dalil syar’i (Al Qur’an dan Sunnah). Berangkat dari sini, perkataan bahwa jika sesuatu yang baru (bid’ah) itu bersumber dari Al Qur’an dan Hadits, maka ia dapat diterima oleh agama, diterima oleh Allah, dan diterima oleh Rasul-Nya, adalah kesalahan fatal yang ujung-ujungnya menyamakan antara bid’ah dengan syari’at itu sendiri –sebab menurutnya keduanya berasal dari Al Qur’an dan hadits–, dan ini jelas batil.

Kedua: kata-kata ‘yang bukan berasal darinya (agama)’ dalam hadits di atas bukanlah sifat yang membatasi, akan tetapi sifat yang menyingkap bahwa semua bid’ah hakikatnya bukanlah berasal dari agama. Karena bila sesuatu itu berasal dari Al Qur’an dan Hadits maka hal tersbut telah ada sejak adanya Islam itu sendiri, dan bukan dianggap baru. Jelas sekali bahwa perkataan ini mengandung kontradiksi yang tidak mungkin diucapkan oleh orang yang berakal, apalagi seorang Rasul yang paling fasih berbahasa Arab dan menerima wahyu dari Allah Ta’ala.

Memahami Mafhum Mu’tabar dan Mafhum Ghairu Mu’tabar

Ketahuilah wahai saudaraku seiman, untuk memahami Al Qur’an tak cukup dengan akal-akalan dan mainqiyas semata; “kalau begini berarti begitu… kalau tidak begini berarti tidak begitu…”. Coba bayangkan bagaimana jadinya kalau analogi seperti ini kita terapkan ketika memahami nash-nash Al Qur’an dan Sunnah, kemudian dengan ilmu yang serba terbatas kita simpulkan seperti di atas? Jelas akan sesat dan menyesatkan… sebagaimana firman Allah Ta’ala:

 “Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Rabb mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: “Apakah maksud Allah menjadikan ini sebagai perumpamaan?” Dengan perumpamaan ini banyak orang yang dibiarkan sesat oleh Allah, dan dengannya pula banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang yang fasik” (Al Baqarah: 26).

Nah, agar tidak dibiarkan sesat oleh Allah, kita harus mengindahkan kaidah-kaidah penafsiran dan jangan sekedar akal-akalan dalam menafsirkan Al Qur’an maupun Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Alhamdulillah, para ulama telah meletakkan beberapa kaidah dalam menentukan maksud suatu ayat atau hadits secara umum. Kaidah tersebut diantaranya berbunyi:

اَلْوَصْفُ إِذَا خَرَجَ مَخْرَجَ الْغَالِبَ, فَلَيْسَ لَهُ مَفْهُوْمٌ مُعْتَبَرٌ.

Setiap sifat yang disebutkan dalam konteks pada umumnya, maka mafhum-nya tidak berlaku.[8])

Maksudnya, jika sifat itu menunjukkan kondisi sesuatu pada umumnya, maka tidak boleh bagi kita menarik suatu kesimpulan yang berlawanan –alias mafhum– darinya, karena mafhum tersebut hukumnya tidak berlaku menurut ijma’ ulama. Seperti ketika Allah melarang untuk memakan riba yang berlipat ganda;mafhumnya ialah yang tidak berlipat ganda boleh dimakan. Nah mafhum seperti ini hukumnya tidak berlaku, karena ayat ini berbicara tentang konteks riba zaman jahiliyah, yang pada umumnya berlipat ganda.

Standar untuk mengetahui hal ini ialah apabila kata sifat yang dijadikan penjelas tadi sering kali kita jumpai dalam masalah yang digambarkan. Jika sifat tersebut senantiasa melekat padanya, atau kita jumpai pada sebagian besar kondisinya, maka mafhumnya tidak berlaku dan tidak menjadi hujjah menurut ijma’ ulama. Namun jika tidak demikian, maka mafhumnya berlaku menurut sebagian ulama yang berhujjah dengan mafhum.[9])

Karenanya, ketika Allah Ta’ala atau Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam menyifati sesuatu dengan sifat atau keadaan tertentu, kita tidak boleh serta merta menarik kesimpulan terbalik dari lafazh aslinya. Karena terkadang sifat itu bukan bertindak sebagai pembatas makna (sifatun muqayyidah), namun sebagai penyingkap akan hakekat sesuatu tadi (sifatun kaasyifah). Untuk lebih jelasnya silakan saudara merenungkan ulang penjelasan ayat-ayat pada bab sebelumnya, kemudian perhatikan contoh lain berikut:

 “Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (An Nisa: 17).

Kata-kata (بجهالة) dalam ayat ini adalah contoh bagi sifatun kaasyifah. Maksudnya sebagai kata sifat/keadaan yang menyingkap hakekat mereka yang berbuat jahat; yaitu bahwa setiap orang yang berbuat jahat adalah orang jahil, karena kejahilanlah yang mendorongnya untuk berbuat jahat.

Jadi, kata ‘lantaran kejahilan’ tadi bukan sebagai sifatun muqayyidah (kata sifat/keadaan yang membatasi). Karena jika tidak demikian, maka maksud ayat di atas ialah bahwa taubat itu khusus bagi orang jahil yang bermaksiat saja, sedangkan orang alim yang bermaksiat tidak perlu bertaubat… padahal orang sekaliber Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja setiap hari beristighfar tak kurang dari 70 kali…[10])

Dari sini dapat kita fahami, bahwa apa yang dijadikan dalil oleh ahlul bid’ah dalam membenarkan adanya bid’ah yang tidak sesat, atau bid’ah yang dapat diterima oleh Allah dan Rasul-Nya adalah suatu kekeliruan fatal!!

Syubhat lain yang dapat kita bantah melalui kaidah di atas ialah sebagai berikut:

إِنَّهُ مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِي قَدْ أُمِيتَتْ بَعْدِي فَإِنَّ لَهُ مِنْ الأَجْرِ مِثْلَ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةَ ضَلَالَةٍ لاَ تُرْضِي اللَّهَ وَرَسُولَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَوْزَارِ النَّاسِ شَيْئًا (رواه الترمذي وقَالَ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ)

“Ketahuilah, barangsiapa menghidupkan salah satu sunnahku yang telah mati sepeninggalku, maka baginya pahala seperti pahala orang yang ikut mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa melakukan bid’ah dholalah yang tidak mendapatkan ridha Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan memikul dosa orang-orang yang mengamalkan bid’ah itu, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.(H.R. Tirmidzi, dan beliau menghasankannya).

Hadits ini dijadikan dalil (baca: syubhat) oleh sebagian orang bahwa tidak semua bid’ah itu sesat. Andaikata semua bid’ah itu sesat, tentu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan langsung berkata:“Barangsiapa mengadakan sebuah bid’ah” tanpa harus menambahkan kata ‘dholalah’ dalam sabdanya tersebut. Dengan menyebut bid’ah dholalah (yang sesat), maka logikanya ada bid’ah yang tidak dholalah (tidak sesat) [11]).

Bantahan terhadap syubhat ini:

Al ‘Allaamah Al Muhaddits Abdurrahman Al Mubarakfury dalam penjelasannya terhadap hadits di atas mengatakan sebagai berikut (mengutip ucapan Shiddiq Hasan Khan):

“Penulis kitab Mirqaatul Mafaatieh  mengatakan: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membatasi bid’ah disini dengan bid’ah yang dholalah untuk mengecualikan bid’ah hasanah”. Pendapat senada juga diungkapkan oleh penulis kitab Asyi’atul Lama’aat dengan menambahkan: “Karena bid’ah hasanah mengandung kemaslahatan bagi agama, sekaligus menguatkan dan melariskannya (di masyarakat)”. Saya katakan [12]): “Kedua pendapat tersebut salah besar! Karena Allah dan Rasul-Nya tak pernah meridhai bid’ah, apa pun bentuknya. Seandainya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak mengecualikan bid’ah hasanah, niscaya beliau tak akan menjelaskan dalam haditsnya bahwa: “Semua bid’ah itu sesat…” atau: “Semua hal yang baru itu bid’ah, dan semua yang sesat itu di neraka…” sebagaimana yang tersebut dalam salah satu riwayat. Ucapan beliau tadi pada dasarnya bukanlah qaid (pembatas) akan bid’ah. Namun merupakan bentuk pengkabaran beliau dalam mengingkari segala macam bid’ah, dan menjelaskan bahwa semua bid’ah adalah tidak diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya. Dalil yang menguatkan pendapat ini ialah firman Allah: { وَرَهْبَانِيَّةً اِبْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ } yang maknanya: “…Dan mereka mengada-adakan bid’ah rahbaniyyah(kependetaan) padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka…” [13] (Al Hadid: 27).

Adapun prasangka bahwa bid’ah itu ada kemaslahatannya bagi agama, sekaligus menguatkan dan melariskannya; bantahannya ialah firman Allah Ta’ala :{ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ }  yang artinya: “Sesungguhnya sebagian dari prasangka itu dosa” (Al Hujurat: 12). Saya tak habis pikir, apa makna ayat: “Sesungguhnya sebagian dari prasangka  itu dosa”, dan ayat: “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku-cukupkan bagimu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu”(Al Ma’idah: 3), kalaulah maslahat yang dimaksud ialah melariskan bid’ah..!? Ya Allah, alangkah anehnya pendapat semacam ini… adakah mereka tidak tahu bahwa dengan menyemarakkan bid’ah berarti mematikan sunnah? Dan dengan mematikan bid’ah berarti menghidupkan sunnah?? Sungguh demi Allah, agama Islam itu lengkap, sempurna, dan tak kurang sedikit pun. Ia tak butuh sedikit pun terhadap bid’ah sebagai pelengkap. Nash-nash (dalil-dalil) yang dikandungnya cukup banyak dan meliputi setiap perkara atau problematika baru yang akan muncul hingga hari kiamat”. Demikian sanggahan beliau dalam kitabnyaAd-Dienul Khalish secara ringkas.

Saya katakan [14]): “Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi (بِدْعَةَ ضَلاَلَةٍ) diriwayatkan dengan idhafah –yaitu dibaca: bid’ata dhalalatin–, atau bisa juga dengan manshub (بِدْعَةً ضَلاَلَةً) –dibaca: bid’atan dhalalatan– sebagai sifah wa mausuf. Jadi, ‘dholalah’ merupakan sifat bagi bid’ah tersebut. Sedangkan kata sifat ini termasuk sifatun kaasyifah (sifat yang menyingkap hakekat sesuatu); bukansifatun muqayyidah yang mengecualikan bid’ah hasanah (dari bid’ah yang menyesatkan). Dalilnya ialah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya yang berbunyi: (كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ) “Semua bid’ah itu sesat” (H.R. Abu Dawud, dari ‘Irbadh bin Sariyah).

Adapun sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi (لاَ تُرْضِي اللهَ وَرَسُولَهُ) “Tidak mendapatkan ridha Allah dan Rasul-Nya”, merupakan sifatun kaasyifah yang kedua bagi bid’ah tadi [15]).

Lebih dari itu, hadits ini masih diperselisihkan keshahihannya. Meski At Tirmidzi menganggapnya hasan –dan beliau memang terkenal gampang menghasankan hadits,– namun salah satu perawi hadits ini ialahKatsier bin Abdillah bin Amru bin ‘Auf Al Muzani. Berikut ini kami nukilkan sanad hadits diatas selengkapnya; Imam At Tirmidzi –rahimahullah– berkata:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ مَرْوَانَ بْنِ مُعَاوِيَةَ الْفَزَارِيِّ عَنْ كَثِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ هُوَ ابْنُ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِبِلَالِ بْنِ الْحَارِثِ … الحديث (جامع الترمذي, كتاب العلم, باب: ما جاء في الأخذ بالسنة واجتناب البدع, حديث رقم 2601).

Abdullah bin Abdirrahman mengabarkan kepada kami, katanya: Muhammad bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami, dari Mirwan bin Mu’awiyah Al Fazary, dari Katsir bin ‘Abdillah –yaitu: bin ‘Amru bin ‘Auf Al Muzany–, dari Ayahnya, dari Kakeknya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Bilal ibnul Harits:…. Al hadits” (H.R. Tirmidzi, no 2601).

Cacat hadits ini ialah pada silsilah rawi yang bercetak tebal di atas. Untuk lebih jelasnya, kami akan menukilkan komentar para ahli hadits mengenai riwayat mereka:

1. Al Imam Ibnu Hibban –rahimahullah– mengatakan:

كثير بن عبد الله بن عمرو بن عوف المزني: يروي عن أبيه عن جده، روى عنه مروان بن معاوية وإسماعيل بن أبى أويس، منكر الحديث جدا، يروي عن أبيه عن جده نسخة موضوعة لا يحل ذكرها في الكتب ولا الرواية عنه (كتاب المجروحين 2/221).

Katsir bin Abdillah bin ‘Amru bin ‘Auf Al Muzany; Ia meriwayatkan dari Ayahnya dari kakeknya. Sedang yang meriwayatkan dari Katsir ialah Marwan bin Mu’awiyah dan Isma’il bin Abi Uwais. (Katsir ini) munkarul hadits jiddan [16]). Ia meriwayatkan dari ayahnya dari kakeknya sekumpulan hadits maudhu’ (palsu) yang tidak halal untuk disebutkan dalam kitab-kitab dan tidak halal untuk diriwayatkan. (Kitabul Majruhien2/221)

2. Imam An Nasa’i –rahimahullah– berkata:

كثير بن عبد الله بن عمرو بن عوف: متروك الحديث (الكامل لابن عدي  6 /  58).

Katsir bin Abdillah bin ‘Amru bin ‘Auf; matruukul hadits 1) (Al Kamil, oleh Ibnu ‘Adiy 6/58).

3. Imam Syafi’i & Abu Dawud -rahimahumallah- menyifatinya dengan kata-kata:

ركن من أركان الكذب (ميزان الاعتدال 3 / 407)

Salah satu tiang daripada tiang-tiang kedustaan (Mizanul I’tidal, 3/407).[17]

4. Ibnu Hajar Al ‘Asqalany –rahimahullah– berkata:

كثير بن عبد الله بن عمرو بن عوف المزني المدني ضعيف أفرط من نسبه إلى الكذب (تقريب التهذيب –  2 /  39)

Katsir bin Abdillah bin ‘Amru bin ‘Auf Al Muzany Al Madany: dha’if, namun orang yang menuduhnya sebagai pendusta agak berlebihan (Taqribut Tahdzieb, 2/39).

Kesimpulannya, hadits di atas derajatnya dha’if jiddan atau minimal dha’if, sehingga tidak bisa dijadikan landasan dalam berdalil. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan At Tirmdzi, hadits no 2677.

-bersambung insya Allah-

Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc

Mahasiswa Magister ‘Ulumul Hadits wad Dirosah Islamiyah Univ. Islam Madinah

Artikel www.muslim.or.id

 


[1]) Syubhat ini bukanlah hasil rekayasa kami, akan tetapi benar-benar ada dalam salah satu buku yang mereka tulis. Namun demi kemaslahatan yang lebih besar, kami sengaja tak ingin mempopulerkannya kepada para pembaca agar tidak menimbulkan fitnah, wallaahul musta’aan.

[2])   Seperti (كُلُّ), isim maushul (الَّذِي/الَّذِيْنَ), isim jins (الإنسان, الجن, الحجر, الحيوان…), dan sejenisnya.

[3]) Lihat Ar Risalah, hal 53-54 karya Al Imam Asy Syafi’i. Tahqiq Al ‘Allaamah Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, Al Maktabatul ‘Ilmiyyah, Beirut-Libanon.

[4])  Lihat: Jaami’ul Bayaan fi Ta’wiilil Qur’an, 4/191 tahqiq: Syaikh Ahmad Syakir, cet. Muassasah Ar Risalah, Beirut.

[5])  H.R. Muslim dalam Shahihnya, hadits no 1718, dari Aisyah y.

[6]) Seperti pendahulunya, syubhat ini penulis nukil dari buku Mana Dalilnya 1, hal 20-24.

[7])     At Ta’riefaat 1/13. Oleh Al Jurjani.

[8]) Lihat Anwarul Buruq fi Anwa’il Furuq, al farqu 62 oleh Al Qarafy; I’lamul Muwaqqi’ien Kitabu ‘Umar fil Qadha’, fasal: Hukmu Aliyyin fi Jama’atin waqa’u fi imraatin, oleh Ibnul Qayyim; Syarh Al Kaukabul Munir, bab: At Takhsis, fasal ke 3.

[9])  Lihat: Anwarul Buruq fi Anwa’il Furuq, al farqu 62, oleh  Al Qarafy.

[10]) H.R. Bukhari no 6307 dan At Tirmidzi no 3182, dari Abu Hurairah t; dan Ibnu Majah no 3807 dari Abu Musa Al Asy’ari.

[11])  Mana Dalilnya 1, hal 22.

[12])  Yang berkata disini adalah Asy Syaikh Shiddiq Hasan Khan, rahimahullah.

[13] Lihat, bagaimana Allah menyifati bid’ah kependetaan tadi dengan kata-kata: ‘padahal kami tidak mewajibkannya atas mereka’. Maknanya cukup jelas, bahwa bid’ah mereka adalah sama sekali tidak Allah perintahkan, karena jika Allah perintahkan tidak akan menjadi bid’ah.

[14])  Yang berkata di sini ialah Abdurrahman Al Mubarakfury, rahimahullah.

[15])   Lihat: Tuhfatul Ahwadzi Bisyarh Jaami’ At Tirmidzi karya Al Mubarakfury, syarah hadits no 2601.

[16]-1) Keduanya merupakan jarhun syadied (kritikan pedas), yang menjatuhkan hadits orang itu ke tingkat dha’if jiddan (lemah sekali) bahkan maudhu’ (palsu).

[17] Maksudnya ia salah seorang pembohong besar.

HADITS ADZAN JUM’AT DUA KALI

Posted: 8 November 2011 in Uncategorized

Imam az-Zuhri -rahimahullah- berkata: as-Sa`ib bin Yazid mengabarkan kepadaku:

أَنَّ الأَذَانَ [ الَّذِيْ ذَكَرَهُ اللَّهُ فِي الْقُرْآنِ ] كَانَ أَوَّلُهُ حِيْنَ يَجْلِسُ الإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ [ وَإِذَا قَامَتِ الصَّلاَةُ ] يَوْمَ الْجُمُعَةِ [ عَلَى بَابِ الْمَسْجِدِ ] فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ، فَلَمَّا كَانَ خِلاَفَةُ عُثْمَانَ وَكَثُرَ النَّاسُ [ وَتَبَاعَدَتِ الْمَنَازِلُ ] أَمَرَ عُثْمَانُ يَوْمَ الْجُمُعَة بِالأَذَانِ الثَّالِثِ وَ فِيْ رِوَايَةٍ: الأَوَّلِ، وَ فِي أُخْرَى: بِأَذَانٍ ثَانٍ ) [عَلَى دَارٍ [ لَهُ ] فِي السُّوْقِ يُقَالُ لَهَا الزَّوْرَاءُ ] فَأُذِّنَ عَلَى الزَّوْرَاءِ [ قَبْلَ خُرُوْجِهِ لِيُعْلِمَ النَّاسَ أَنَّ الْجُمُعَةَ قَدْ حَضَرَتْ ]، فَثَبَتَ الأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ، فَلَمْ يَعِبِ النَّاسُ ذَلِكَ عَلَيْهِ، وَقَدْ عَابُوْا عَلَيْهِ حِيْنَ أَتَمَّ الصَّلاَةَ بِمِنَى
Bahwasanya adzan yang telah Allah sebutkan di dalam al-Qur`an pada mulanya dikumandangan ketika imam duduk di atas mimbar dan ketika sholat akan ditegakkan pada hari jum’at di depan pintu masjid pada masa Nabi -shollallahu alaihi wa sallam-, Abu Bakar dan Umar. Kemudian ketika tiba khilafah Utsman dan orang-orang semakin bertambah banyak serta rumah-rumah saling berjauhan, Utsman memerintahkan pada hari jum’at untuk dikumandangkan adzan yang ketiga (pada sebuah riwayat disebutkan: pertama. Dan di riwayat lainnya disebutkan: adzan kedua) di atas sebuah rumah miliknya di sebuah pasar yang bernama az-Zaura`. Lalu adzan dikumandangkan di az-Zaura` sebelum beliau keluar untuk memberitahukan kepada orang-orang bahwa waktu jum’at telah tiba. Maka demikianlah seterusnya hal tersebut berlangsung, dan orang-orang tidak mencela beliau atas hal itu, akan tetapi mereka pernah mencela beliau lantaran menyempurkana shalat (tidak mengqasharnya) ketika berada di Mina. [HR. al-Bukhari, jilid 2, hlm. 314, 316, 317, Abu Dawud, jilid 1, hlm. 171, an-Nasa`i, jilid 1, hlm. 297, at-Tirmidzi, jilid 2, hlm. 392 dan Ibnu Majah, jilid 1, hlm. 228. Juga diriwayatkan oleh asy-Syafi’i, Ibnul Jarud, al-Baihaqi, Ahmad, Ishaq, Ibnu Khuzaimah, ath-Thabrani, Ibnul Munzdir, dll.]
Dengan demikian jelaslah bahwa adzan dua kali yang rutin dikerjakan masyarakat umum sekarang ini berdasarkan dalil yang shahih.
DUA POIN PENTING
[1]. Dua Alasan Utsman -radhiallohu anhu- Adzan Dua Kali.
Dapat kita ketahui bersama dari hadits di atas bahwa Utsman -radhiallohu anhu- menambahkan adzan yang pertama karena dua alasan yang sangat masuk akal:
1). Semakin banyaknya manusia, dan
2). Rumah-rumah mereka yang saling berjauhan.
Barang siapa memalingkan pandangan dari dua alasan ini dan berpegang teguh dengan adzan Ustman -radhiallohu anhu- secara mutlak, maka dia tidak mengikuti petunjuk beliau -radhoallohu anhu-, bahkan ia menyalahi beliau, sebab dia tidak mau mengambil pelajaran dari dua alasan tersebut, yang mana jika keduanya tidak ada niscaya Ustman -radhiallohu anhu- tidak akan menambah Sunnah Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- dan dua khalifah sebelumnya Abu Bakar dan Umar radhiallohu anhuma.
Dan dua sebab tersebut hampir tidak tidak terwujudkan pada masa sekarang. Apalagi hampir seluruh masjid yang ada sudah menggunakan speaker untuk mengumandangkan adzan, sehingga semuanya dapat mendengarkan adzan jum’at baik yang dekat maupun yang jauh.
[2]. Adzan Sekali atau Dua Kali?
Pendapat yang tepat dan benar dalam masalah ini adalah, bahwa adzan jum’at sekarang ini cukup dikumandangkan sekali saja. Berikut alasannya:
1. Tidak adanya sebab yang mendorong untuk mengumandangkan adzan dua kali sebagaimana yang dilakukan Utsman bin Affan -radhiallohu anhu- lantaran adanya dua asalan yang masuk akal di atas.
2. Mengikuti sunnah Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam-, Abu Bakar dan Umar -radhiallohu anhuma-. Dan tentu saja sunnah beliau jauh lebih kita cintai dari pada sunnah yang lainnya.
Imam as-Syafi’i -rahimahullah- berkata di kitab al-Umm, jilid 1, hlm. 172-173:
فَالْأَمْرُ الَّذِي عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَحَبُّ إلَيَّ (قَالَ: الشَّافِعِيُّ) : فَإِنْ أَذَّنَ جَمَاعَةٌ مِنْ الْمُؤَذِّنِينَ وَالْإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ وَأُذِّنَ كَمَا يُؤَذَّنُ الْيَوْمَ أَذَانٌ قَبْلَ أَذَانِ الْمُؤَذِّنِينَ إذَا جَلَسَ الْإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ كَرِهْت ذَلِكَ لَهُ
“Dan saya menyukai adzan pada hari jum’at dikumandangkan ketika imam masuk masjid dan duduk di atas mimbar. Apabila imam telah melakukan hal itu, maka muadzdzin memuali adzan. Bila telah usai, maka imam berdiri dan menyampaikan khutbahnya, dan tidak boleh ditambah-tambahi (adzan lain) lagi.”

Kisah Penyembelihan Ismail

Posted: 8 November 2011 in Uncategorized
Nabi Ibrâhîm ‘alaihissalam berdoa:
Wahai Rabb-ku, karuniakanlah untukku anak yang shalih“�
Maka Allâh Ta’ala memberikan kabar gembira kepadanya dengan kehadiran seorang anak yang mulia lagi penyabar. Dan tatkala anak itu saat mulai beranjak dewasa berusaha bersama-sama Ibrâhîm, Ibrâhîm berkata kepadanya:
Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?“�
Isma’il ‘alaihissalam menjawab:
Wahai Ayahandaku, lakukanlah apa yang diperintahkan oleh Allâh Ta’ala kepadamu; insya Allah engkau akan mendapati diriku termasuk orang-orang yang sabar“�.
Saat keduanya telah berserah diri dan Ibrâhîm membaringkan anaknya di atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya), Allâh Ta’ala memanggilnya:
Wahai Ibrâhîm, sungguh kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan kami menebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrâhîm (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian. (Yaitu) ‘Kesejahteraan yang dilimpahkan kepada Ibrâhîm’. Demikianlah Allâh Ta’ala memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba Allâh Ta’ala yang mukminin.” (Qs. ash-Shâffât/37 ayat 99-111)
Di dalam tafsir Qurthubi rahimahullâh[18] dan Baghawi rahimahullâh[19] disebutkan riwayat Ibnu ‘Abbas radhiyallâhu’anhu, beliau berkata:
“Ibrâhîm ‘alaihissalam dan Isma’il ‘alaihissalam keduanya taat, tunduk patuh terhadap perintah Allâh Ta’ala. Ingatlah, renungkanlah kisah itu … ketika keduanya akan melaksanakan perintah Allâh Ta’ala, dengan tulus dan tabah sang anak berkata:
“Wahai Ayahku, kencangkanlah ikatanku agar aku tak lagi bergerak.”
“Wahai Ayahku, singsingkanlah bajumu agar darahku tidak mengotori bajumu maka akan berkurang pahalaku, dan (jika nanti) Bunda melihat bercak darah itu niscaya beliau akan bersedih.”
“Dan tajamkanlah pisau Ayah, serta percepatlah gerakan pisau itu di leherku agar terasa lebih ringan bagiku karena sungguh kematian itu amat dahsyat.”
“Wahai Ayah, apabila engkau telah kembali maka sampaikan salam (kasih)ku kepada Bunda, dan apabila bajuku ini Ayah pandang baik untuk dibawa pulang maka lakukanlah.”
(Saat itu, dengan penuh haru) Ibrahim berkata:
“Wahai anakku, sungguh engkau adalah anak yang sangat membantu dalam menjalankan perintah Allâh Ta’ala.”
Ibnu Katsir rahimahullâh berkata:[20]
Ini adalah ujian Allâh Ta’ala atas kekasih-Nya (yakni Ibrâhîm ‘alaihissalam) untuk menyembelih putranya yang mulia dan baru terlahir setelah beliau berumur senja. (Ujian ini terjadi) setelah Allâh Ta’ala memerintahkannya untuk meninggalkan Hajar saat Ismail radhiyallâhu’anhu masih menyusui di tempat yang gersang, sunyi tanpa tumbuhan (yang dimakan buahnya), tanpa air dan tanpa penghuni. Ia taati perintah Allâh Ta’ala itu, meninggalkan isteri dan putranya yang masih kecil dengan keyakinan yang tinggi dan tawakal kepada Allâh Ta’ala . Maka Allâh Ta’ala memberikan kepada mereka kemudahan, jalan keluar, serta limpahan rizki dari arah yang tiada disangka. Setelah semua ujian itu terlampaui, Allah menguji lagi dengan perintah-Nya untuk menyembelih putranya sendiri, yaitu Ismail radhiyallâhu’anhu. Dan tanpa ragu, Ibrâhîm ‘alaihissalammenyambut perintah Allâh Ta’ala itu dan segera mentaatinya. Beliau ‘alaihissalam menyampaikan terlebih dahulu ujian Allâh Ta’ala tersebut kepada putranya, agar hati Ismail ‘alaihissalam menjadi lapang serta dapat menerimanya, sehingga ujian itu tidak harus dijalankan dengan cara paksa dan menyakitkan. Subhanallâh...”
Marâji’:
1.  Al-Bidayah wan-Nihayah, Ismail bin ‘Umar bin Katsîr. Tahqîq: Dr. ‘Abdullah ‘Abdul-Muhsin at-Turki, 1417 H.
2.  Al-Jâmi’u li Ahkâmil-Qur’ân, Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, Cetakan Mu’assatur-Risâlah, 1427 H.
3.  Al-Mu’jamul-Wasîth, Makatabtusy-Syurûq, Cetakan 2.
4.  Fathul Qadîr, Muhammad bin Ali asy-Saukani, Dârul-Fikr, 1414 H.
5.  Jami’ul-Bayân fi Ta’wîlil-Qur’ân, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Cetakan Dârul-Kutubil-‘Ilmiyah, 1426 H.
6.  Ma’alimut-Tanzîl, Abu Muhammad bin Mas’ûd al- Baghawi, Cetakan Dârul-Ma’rifah, 1413 H.
7.  Musnadul-Imâmi Ahmad, Ahmad bin Hanbal, Cetakan Mu’assatur-Risâlah, 1420 H.
8.  Shahîh Bukhâri dengan Fat-hul-Bâri, Ibnu Hajar al ‘Asqalâni, Cetakan Dârus-Salâm, 1421 H.
9.  Shahîh Qashashil-Anbiyâ’, Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali, Cetakan Gharras.
10.  Tafsîrul-Qur’ânil-Azhîm, Isma’il bin ‘Umar bin Katsîr, Cetakan Mu’assatur-Rayyân.
11.  Taisîrul-Karîmil-Mannân fî Tafsîrîl-Karîmir-Rahmân, Syaikh ‘Abdurrahmân as-Sa`di, Cetakan Mu’assatur-Risâlah, 1417 H.
Disadur dari kitab Manhajul-Anbiyâ‘ fii Tazkiyatin-Nufûs, karya Syaikh Salim al-Hilali hafizhahullah, hlm. 8-9
(Majalah As-Sunnah Edisi 08 Tahun XII)

Keutamaan Shalat Shubuh

Posted: 7 November 2011 in Uncategorized

Shubuh adalah salah satu waktu di antara beberapa waktu, di mana Allah Ta’ala memerintahkan umat Islam untuk mengerjakan shalat kala itu. Allah Ta’ala berfirman,

أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآَنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآَنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا

Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) Shubuh. Sesungguhnya shalat Shubuh tu disaksikan (oleh malaikat).” (Qs. Al-Isra’: 78)

Betapa banyak kaum muslimin yang lalai dalam mengerjakan shalat shubuh. Mereka lebih memilih melanjutkan tidurnya ketimbang bangun untuk melaksanakan shalat.  Jika kita melihat jumlah jama’ah yang shalat shubuh di masjid, akan terasa berbeda dibandingkan dengan jumlah jama’ah pada waktu shalat lainnya.

Keutamaan Shalat Shubuh

Apabila seseorang mengerjakan shalat shubuh, niscaya ia akan dapati banyak keutamaan. Di antara keutamaannya adalah

(1) Salah satu penyebab masuk surga

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَلَّى الْبَرْدَيْنِ دَخَلَ الْجَنَّة

Barangsiapa yang mengerjakan shalat bardain (yaitu shalat shubuh dan ashar) maka dia akan masuk surga.” (HR. Bukhari no. 574 dan Muslim no. 635)

(2) Salah satu penghalang masuk neraka

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَنْ يَلِجَ النَّارَ أَحَدٌ صَلَّى قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا

Tidaklah akan masuk neraka orang yang melaksanakan shalat sebelum terbitnya matahari (yaitu shalat shubuh) dan shalat sebelum tenggelamnya matahari (yaitu shalat ashar).” (HR. Muslim no. 634)

(3) Berada di dalam jaminan Allah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَلَّى صَلَاةَ الصُّبْحِ فَهُوَ فِي ذِمَّةِ اللَّهِ فَلَا يَطْلُبَنَّكُمْ اللَّهُ مِنْ ذِمَّتِهِ بِشَيْءٍ فَإِنَّهُ مَنْ يَطْلُبْهُ مِنْ ذِمَّتِهِ بِشَيْءٍ يُدْرِكْهُ ثُمَّ يَكُبَّهُ عَلَى وَجْهِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ

Barangsiapa yang shalat subuh maka dia berada dalam jaminan Allah. Oleh karena itu jangan sampai Allah menuntut sesuatu kepada kalian dari jaminan-Nya. Karena siapa yang Allah menuntutnya dengan sesuatu dari jaminan-Nya, maka Allah pasti akan menemukannya, dan akan menelungkupkannya di atas wajahnya dalam neraka jahannam.” (HR. Muslim no. 163)

(4) Dihitung seperti shalat semalam penuh

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَلَّى الْعِشَاءَ فِي جَمَاعَةٍ فَكَأَنَّمَا قَامَ نِصْفَ اللَّيْلِ وَمَنْ صَلَّى الصُّبْحَ فِي جَمَاعَةٍ فَكَأَنَّمَا صَلَّى اللَّيْلَ كُلَّهُ

Barangsiapa yang shalat isya` berjama’ah maka seolah-olah dia telah shalat malam selama separuh malam. Dan barangsiapa yang shalat shubuh berjamaah maka seolah-olah dia telah shalat seluruh malamnya.” (HR. Muslim no. 656)

(5) Disaksikan para malaikat

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَتَجْتَمِعُ مَلَائِكَةُ اللَّيْلِ وَمَلَائِكَةُ النَّهَارِ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ

 “Dan para malaikat malam dan malaikat siang berkumpul pada shalat fajar (subuh).” (HR. Bukhari no. 137 dan Muslim no.632)

Ancaman bagi yang Meninggalkan Shalat Shubuh

Padahal banyak keutamaan yang bisa didapat apabila seseorang mengerjakan shalat shubuh. Tidakkah kita takut dikatakan sebagai orang yang munafiq karena meninggalakan shalat shubuh? Dan kebanyakan orang meninggalkan shalat shubuh karena aktivitas tidur. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَثْقَلَ صَلَاةٍ عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلَاةُ الْعِشَاءِ وَصَلَاةُ الْفَجْرِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا

Sesungguhnya shalat yang paling berat dilaksanakan oleh orang-orang munafik adalah shalat isya dan shalat subuh. Sekiranya mereka mengetahui keutamaan keduanya, niscaya mereka akan mendatanginya sekalipun dengan merangkak.” (HR. Bukhari no. 657 dan Muslim no. 651)

Cukuplah ancaman dikatakan sebagai orang munafiq membuat kita selalu memperhatikan ibadah yang satu ini.

Semoga Allah selalu memberi hidayah kepada kita semua, terkhusus bagi para laki-laki untuk dapat melaksanakan shalat berjama’ah di masjid.

Penulis: Wiwit Hadi Priyanto

Artikel www.muslim.or.id

Syubhat 1: Tidak Semua Yang Baru Berarti Bid’ah

Banyak orang yang salah faham akan makna bid’ah yang dimaksud oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mengatakan bahwa semua bid’ah adalah kesesatan. Mereka menganggap bahwa dengan memahami hadits ‘kullu bid’atin dholalah, wa kullu dholalatin finnaar’ [1] secara tekstual, maka semua orang akan masuk neraka, sebab kehidupan kita dipenuhi dengan bid’ah. Cara berpakaian, berbagai jenis perabotan rumah tangga, sarana transportasi, pengeras suara, permadani yang terhampar di masjid-masjid, lantai masjid yang terbuat dari batu marmer, penggunaan sendok dan garpu, hingga berbagai kemajuan teknologi lainnya, semua itu merupakan hal baru yang tidak pernah ada di zaman Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau. Semuanya adalah bid’ah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa semua bid’ah adalah sesat dan semua yang sesat tempatnya di neraka.[2]

Pemahaman yang rancu semacam ini muncul dari ketidaktahuan mereka akan uslub (gaya bahasa) Al Qur’an, Hadits, atau ucapan para ulama yang senantiasa membedakan pengertian suatu kata dari segi etimologis (bahasa) dan terminologis (istilah/syar’i). Kerancuan tadi juga disebabkan oleh ketidak fahaman orang tersebut akan konteks suatu nash (ayat/hadits), atau karena pemahaman parsial — yang memegangi satu nash dan mengabaikan nash-nash lainnya–, atau akibat mencomot nash tersebut dari konteks selengkapnya. Dan yang terakhir ini cukup fatal akibatnya, sebagaimana yang akan kami jelaskan nanti.

Pentingnya membedakan antara definisi lughawi (bahasa) dan syar’i.

Sebagai contoh, kata ‘ash-shalah’ (الصَّلاَة) merupakan mashdar (bentukan/noun) dari kata صَلَّى- يُصَلِّي, yang dalam bahasa Arab memiliki tak kurang dari lima makna. Al Fairuzabadi[3]) mengatakan:

وَالصَّلاَةُ: الدُّعَاءُ, وَالرَّحْمَةُ, وَالاِسْتِغْفَارُ, وَحُسْنُ الثَّنَاءِ مِنَ اللهِ   عَلىَ رَسُولِهِ, وَعِبَادَةٌ فِيْهَا رُكُوعٌ وَسُجُودٌ.

‘ash shalaah’ artinya: (1)doa(2)rahmat, (3)istighfar, (4) pujian yang baik dari Allah  terhadap Rasul-Nya, dan (5)ibadah yang mengandung ruku’ dan sujud [4]).

Ketika menemukan definisi (الصلاة) semacam ini, seseorang harus menentukan terlebih dahulu mana yang merupakan definisi lughawi dan mana yang syar’i. Lalu ketika hendak mengartikan suatu hadits atau ayat tertentu, ia harus memperhatikan konteks ayat/hadits di mana istilah ini berada, kemudian menentukan apakah shalat di sini yang dimaksud ialah shalat secara lughawi ataukah syar’i. Kalau secara bahasa ia memiliki lebih dari satu makna, maka ia harus meneliti makna apa yang diinginkan dalam konteks ini.

Bagaimana jika ia hanya memahami satu makna saja dari kata shalat tadi, lantas menerapkannya dalam seluruh konteks kalimat….? Jelas, cara seperti ini pasti mengacaukan pemahaman yang sebenarnya. Cobalah Anda simak jika shalat dalam ayat berikut diartikan secara lughawi sebagai doa umpamanya:

“Dirikanlah doa dari sejak matahari tergelincir hingga malam gelap…” (Al Isra’: 78). Tentu aneh kedengarannya, karena (الصلاة) disini maksudnya ialah shalat secara syar’i yang pakai ruku’ dan sujud, bukannya sekedar doa. Demikian pula kalau ia hanya mengartikannya dengan pengertian syar’i tanpa mengindahkan makna lughawinya. Maka ketika mendapati ayat berikut pemahamannya akan kacau:

 “Ambillah sebagian harta mereka sebagai zakat yang membersihkan dan menyucikan mereka; dan ‘shalatlah(?)’ kepada mereka, karena shalatmu menimbulkan ketenangan bagi mereka…(?)” (QS. 9:103). Dengan pola pikir semacam ini, tak menutup kemungkinan kalau suatu saat akan ada yang mengatakan bahwa menyolatkan orang yang masih hidup hukumnya sunnah!! Padahal yang dimaksud dengan (وَصَلِّ عَلَيْهِمْ) di sini artinya: “doakanlah mereka”, karena doa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menimbulkan ketenangan bagi mereka.

Bagaimana pula ia hendak mengartikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:

إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ وَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ (رواه مسلم 1431).

Apakah akan diartikan: “Kalau salah seorang dari kalian diundang makan hendaklah ia memenuhinya. Jika ia sedang berpuasa maka shalatlah (?), namun jika sedang tidak berpuasa silakan menyantap makanannya”(H.R. Muslim no 1431). Padahal maksudnya agar ia mendoakan orang yang mengundangnya kalau ia sedang berpuasa.

Sama persis dengan masalah bid’ah yang sedang kita bahas. Berangkat dari salah pengertian tentang makna bid’ah yang dianggap sesat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagian orang langsung membid’ahkan setiap hal baru yang terjadi pada diri kita, tanpa memilah-milah antara bid’ah dalam agama dengan bid’ah dalam urusan duniawi. Karenanya, kita harus mendudukkan pengertian bid’ah yang sebenarnya.

Akan tetapi sebelum kita mendefinisikan bid’ah, kita harus mengenal Sunnah terlebih dahulu. Karena sunnah identik dengan apa-apa yang harus dilakukan, sedangkan bid’ah identik dengan apa-apa yang harus ditinggalkan. Dan apa-apa yang harus dilakukan lazimnya dibahas lebih dahulu dari pada apa-apa yang harus ditinggalkan. Insya Allah dengan memahami Sunnah, kita akan memahami bid’ah [5]).

Apa itu Sunnah?

Sunnah menurut bahasa, artinya: cara yang diikuti. Sedang menurut syar’i ialah semua yang disyari’atkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi umatnya atas izin dari Allah Ta’ala; yang berupa jalan-jalan kebaikan, atau adab-adab dan keutamaan yang beliau anjurkan, demi menyempurnakan umat ini dan membahagiakannya. Kalau yang beliau syari’atkan itu berupa perintah untuk melakukan sesuatu dan menekuninya, maka itulah Sunnah waajibah (yang diwajibkan), yang tak boleh ditinggalkan oleh seorang muslim pun. Namun jika bukan seperti itu, berarti itu Sunnah mustahabbah (yang disukai), yang bila dilakukan akan mendapat pahala, namun jika ditinggalkan pelakunya tidak akan disiksa.

Pembaca yang budiman, perlu kita ketahui bahwa sebagaimana beliau shallallahu ‘alaihi wa sallammengajarkan sunnah tadi lewat sabdanya; beliau juga mengajarkannya lewat perbuatan dan  persetujuannya. Maka ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan sesuatu secara berulang-ulang hingga jadi kebiasaan, jadilah hal itu sunnah bagi umatnya sampai ada dalil yang menunjukkan bahwa hal tersebut termasuk khususiyyah (kekhususan) beliau, seperti puasa secara bersambung umpamanya (puasa wishal).

Demikian pula ketika beliau mendengar atau melihat sesuatu yang terjadi pada para sahabatnya, kemudian hal itu berulang sekian kali tanpa diingkari oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, jadilah itusunnah taqririyyah (sunnah karena persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Akan tetapi jika apa yang beliau lakukan, atau yang beliau lihat dan dengarkan tadi tidak terjadi berulang kali, maka tidak termasuk sunnah. Mengapa? Karena kata sunnah  (سَنَّ – يَسُنُّ – سُنَّةً) berasal dari sesuatu yang berulang kali. Seperti kata (سَنَّ السِّكِّيْنَ) yang artinya mengasah pisau, yaitu menggosoknya berulang kali pada asahan sampai tajam [6]).

Contoh apa yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sekali saja dan tak diulangi lagi –hingga tidak dianggap sebagai sunnah– ialah ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak antara shalat dhuhur dan asar, dan antara maghrib dan isya’ tanpa udzur seperti safar, sakit, ataupun hujan (H.R. Muslim dan Tirmidzi) [7]). Karenanya, perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi tak menjadi sunnah yang dipraktekkan oleh kaum muslimin. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam At Tirmidzi setelah meriwayatkan hadits ini, beliau berkata:

جَمِيعُ مَا فِي هَذَا الْكِتَابِ مِنْ الْحَدِيثِ فَهُوَ مَعْمُولٌ بِهِ وَبِهِ أَخَذَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مَا خَلَا حَدِيثَيْنِ: حَدِيثَ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ  جَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ بِالْمَدِينَةِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ وَحَدِيثَ النَّبِيِّ  أَنَّهُ قَالَ إِذَا شَرِبَ الْخَمْرَ فَاجْلِدُوهُ فَإِنْ عَادَ فِي الرَّابِعَةِ فَاقْتُلُوهُ.

Semua hadits yang ada dalam kitab ini (Sunan Tirmidzi) ialah untuk diamalkan, dan menjadi dalil bagi sebagian ulama; kecuali dua hadits: Hadits Ibnu Abbas yang berbunyi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak antara dhuhur, asar, maghrib, dan isya’ di Madinah tanpa alasan takut maupun hujan. Dan hadits Nabi yang mengatakan: “Kalau seseorang ketahuan minum khamer, maka cambuklah. Kalau ia minum lagi keempat kalinya, maka bunuh saja…” (lihat Kitabul ‘Ilal dari Sunan At Tirmidzi).

Sedangkan contoh dari apa yang pernah beliau diamkan dan beliau setujui sekali saja –hingga tidak bisa dianggap sunnah bagi kaum muslimin,– ialah hadits yang mengatakan tentang nadzar seorang wanita yang bila Allah Ta’ala memulangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari safarnya dalam keadaan selamat, ia akan menabuh rebana di hadapan beliau sebagai luapan rasa bahagia atas keselamatannya[8]). Maka wanita tersebut melangsungkan nadzarnya, dan beliau menyetujuinya kali itu saja. Karenanya, hal ini tidak bisa dianggap sebagai sunnah bagi umatnya.

Adapun contoh dari sunnah fi’liyyah ialah kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang selepas shalat berputar ke arah makmum. Hal ini terjadi ratusan kali, karenanya ini merupakan sunnah bagi setiap imam selepas shalat, meskipun beliau tak pernah memerintahkannya. Sedangkan contoh dari sunnahtaqririyyah ialah ketika beliau mendiamkan apa yang dilakukan para sahabatnya saat mengiring jenazah. Beliau melihat ada yang berjalan di depan jenazah, ada yang disamping kanan, di kiri, dan ada yang di belakang, akan tetapi beliau mendiamkan mereka; dan hal terjadi berulang kali setiap mereka mengiring jenazah. Maka hal ini dianggap sebagai sunnah taqririyyah.

Demikianlah pengertian sunnah, maka hadirkanlah selalu makna ini dalam benak anda… dan jangan lupa untuk menyertakan pula sunnah-sunnah Khulafa’ur Rasyidin sepeninggal beliau.

Pengertian bid’ah

Adapun bid’ah, maka itulah lawan dari Sunnah. Mengapa? Karena bid’ah hakekatnya ialah segala sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh Allah Ta’ala dalam kitab-Nya, maupun melalui lisan Nabi-Nya; baik berupa keyakinan, ucapan, maupun perbuatan. Atau dengan kata lain, bid’ah ialah: semua yang di zaman Rasulullah dan para sahabatnya tidak dianggap sebagai agama yang dijadikan ritual ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Baik berupa keyakinan, ucapan, maupun perbuatan, meski ia dianggap memiliki nilai sakral luar biasa, atau dijadikan syi’ar agama[9]).  Ini definisi bid’ah menurut syar’i secara global, sedang perinciannya sebagai berikut:

Definisi Bid’ah secara lughawi

Kata ‘bid’ah’ berasal dari bada‘a – yabda’u – bad’un atau bid’atun, yang secara lughawi artinya sesuatu yang baru. Mengenai hal ini, Imam Al Azhari[10]) menukil ucapan Ibnu Sikkiet yang mengatakan:

اَلْبِدْعَةُ: كُلُّ مُحْدَثَةٍ.

“Bid’ah itu segala sesuatu yang baru” [11]).

Definisi senada juga dinyatakan oleh Al Khalil bin Ahmad Al Farahidy[12]), yang mengatakan:

البَدْعُ: إِحْدَاثُ شَئْ ٍلَمْ يَكُنْ لَهُ مِنْ قَبْلُ خَلْقٌ وَلاَ ذِكْرٌ وَلاَ مَعْرِفَةٌ

“Al bad’u (bid’ah) ialah mengadakan sesuatu yang tidak pernah diciptakan, atau disebut, atau dikenal sebelumnya” [13]).

Isim fa’il (nama pelaku) dari kata bada’a tadi ialah badie’ (بَدِيْعٌ) atau mubdi’ (مُبْدِعٌ), artinya: pencipta sesuatu tanpa ada contoh terlebih dahulu. Hal ini seperti firman Allah:

بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرضِ Dialah pencipta langit dan bumi” (Al Baqarah :117), yaitu tanpa ada contoh (prototip) sebelumnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Az Zajjaj[14]).

Korelasi antara definisi bid’ah secara lughawi dan syar’i

Dari nukilan-nukilan di atas, dapat kita fahami bahwa bid’ah secara bahasa ialah segala sesuatu yang baru, entah itu baik atau buruk; berkaitan dengan agama atau tidak. Karenanya Az Zajjaj mengatakan:

وَكُلُّ مَنْ أَنْشَأَ مَالَمْ يُسْبَقْ إِلَيْهِ قِيْلَ لَهُ: أَبْدَعْتَ. وَلِهَذَا قِيْلَ لِمَنْ خَالَفَ السُّـنَّةَ: مُبْتَدِعٌ. لأَِنَّهُ أَحْدَثَ فِي الإِسْلاَمِ مَالَمْ يَسْبِقْهُ إِلَيْهِ السَّلَفُ.

“Setiap orang yang melakukan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya, kita katakan kepadanya:“abda’ta” (anda telah melakukan bid’ah (terobosan baru)). Karenanya, orang yang menyelisihi ajaran (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam disebut sebagai mubtadi’ (pelaku bid’ah), sebab iamengada-adakan sesuatu dalam Islam yang tidak pernah dikerjakan oleh para salaf sebelumnya”[15]).

Jadi, korelasi antara kedua definisi tadi ialah bahwa bid’ah itu intinya sesuatu yang baru dan diada-adakan. Namun bedanya, bid’ah secara syar’i khusus berkaitan dengan agama, sebagaimana yang disebutkan oleh Az Zajjaj di atas. Untuk lebih jelasnya perhatikan definisi bid’ah secara syar’i menurut Al Jurjani berikut:

البِدْعَةُ هِيَ الْفِعْلَةُ الْمُخَالِفَةُ لِلسُّـنَّةِ، سُمِّيَتْ: اَلْبِدْعَةَ، لأَِنَّ قَائِلَهَا ابْتَدَعَهَا مِنْ غَيْرِ مَقَالِ إِمَامٍ، وَهِيَ الأَمْرُ الْمُحْدَثُ الَّذِي لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ الصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُوْنَ، وَلَمْ يَكُنْ مِمَّا اقْتَضَاهُ الدَّلِيْلُ الشَّرْعِيُّ.

“Bid’ah ialah perbuatan yang menyelisihi As Sunnah (ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Dinamakan bid’ah karena pelakunya mengada-adakannya tanpa berlandaskan pendapat seorang Imam. Bid’ah juga berarti perkara baru yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat dan tabi’in, dan tidak merupakan sesuatu yang selaras dengan dalil syar’i” [16]).

Kata-kata yang bercetak tebal di atas amat penting untuk kita fahami maknanya. Sehingga kita tidak mencampuradukkan antara bid’ah dengan maslahat mursalah [17]). Atau antara bid’ah secara bahasa dengan bid’ah secara syar’i. Berangkat dari pemahaman ini, Imam Asy Syathiby mendefinisikan bid’ah secara syar’i dengan definisi paling universal sebagai berikut:

الْبِدْعَةُ عِبَارَةٌ عَنْ: طَرِيْقَةٍ فيِ الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٌ, تُضَاهِي الشَّرِيْعَةَ, يُقْصَدُ بِالسُّلُوكِ عَلَيْهَا الْمُبَالَغَةُ فيِ التَّعَبُّدِ للهِ سُبْحَانَهُ (الاعتصام 1/50).

Bid’ah adalah sebuah metode baru dalam agama yang bersifat menyaingi syari’at, dan dilakukan dengan tujuan beribadah secara lebih giat kepada Allah Ta’ala.

Kaidah dalam mendefinisikan bid’ah

Dari definisi-definisi di atas, bisa kita simpulkan bahwa bid’ah menurut syar’i harus memiliki kriteria berikut:

  1. Berkaitan dengan agama, bukan dengan urusan duniawi.
  2. Bersifat baru dan belum pernah terjadi di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  3. Bersifat menyaingi syari’at Allah dan Rasul-Nya.
  4. Tidak selaras dengan dalil-dalil syar’i.
  5. Dilakukan dalam rangka ibadah kepada Allah.

Bertolak dari kaidah ini, jelaslah bahwa cara berpakaian, cara makan, sarana transportasi, komunikasi dan hasil kemajuan teknologi lainnya tidak bisa disebut bid’ah secara syar’i, karena kesemuanya tidak memenuhi kriteria di atas.

 -bersambung insya Allah-

Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc

Mahasiswa Magister ‘Ulumul Hadits wad Dirosah Islamiyah Univ. Islam Madinah

Artikel www.muslim.or.id

 


[1] Yang artinya: Semua bid’ah adalah kesesatan, dan semua kesesatan berada di Neraka.

[2] Seperti yang dinyatakan oleh Novel Alaydrus dalam buku: Mana Dalilnya 1, hal 17.

[3])  Beliau ialah Al Imam Al Lughawy Abu Thahir Majduddien Muhammad bin Ya’qub bin Muhammad bin Ibrahim bin ‘Umar Asy Syirazi Al Fairuzabadi. Lahir di Karazin-Persia, pada tahun 720H. Sejak kecil beliau telah menunjukkan kecerdasan yang luar biasa. Beliau hafal Al Qur’an dan pandai menulis sejak umur tujuh tahun, dan ini merupakan sesuatu yang langka untuk bocah seusia itu. Kehausannya dalam mencari ilmu mengharuskannya untuk mengembara ke Irak, Syam, Mesir, Hijaz, Romawi, India dan akhirnya menetap di desa Zabid, Yaman. Diantara gurunya ialah Ibnul Qayyim, Ibnu Hisyam, dan Taqiyyuddin As Subky. Karyanya cukup banyak dalam berbagai disiplin ilmu, seperti bahasa Arab, tafsir, tarikh, biografi, hadits, dan fiqih. Beliau wafat di Zabid, malam Selasa bulan Syawal tahun 817 H, dalam usia mendekati 90 tahun tapi penglihatan dan pendengarannya masih prima. (Muqaddimah Al Qomus Al Muhith, hal 9-15 cet. Muassasah Ar Risalah, Beirut-Libanon )

[4])  Al Qomus Al Muhith, hal 1303-1304. cet. Muassasah Ar Risalah.

[5]) Paragraf ini dan yang setelahnya kami sadur dari kitab: Al Inshaf fiima Qiila fi Maulidin Nabiyyi minal Ghuluwwi wal Ijhaaf, (تتمة نافعة) tulisan syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairy.

[6])  Lihat Al Qomus Al Fiqhy, 1/183.

[7]) Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya, no 705; juga oleh At Tirmidzi dalam Sunan-nya, no 172.

[8]) H.R. Abu Dawud dan Tirmidzi, dan katanya: hadits ini hasan shahih gharib. Disini hanya kami cuplikkan sebagian dari hadits seutuhnya yang cukup panjang.

[9])   Al Inshaf Fiima Qiila fil Maulid Minal Ghuluwwi wal Ijhaaf, oleh Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairy.

[10]Beliau ialah Al ‘Allamah Al Lughawy Abu Manshur, Muhammad bin Ahmad ibnul Azhar Al Azhary Al Harawy Asy Syafi’iy. Lahir sekitar tahun 282 H. Beliau adalah Imam dalam bahasa Arab dan fiqih. Seorang ulama yang tsiqah dan taat beragama. Diantara karya ilmiahnya ialah: Tahdzibul Lughah, Kitab At Tafsir, Tafsir Alfaazhul Muzany, ‘Ilalul Qira’ah, Ar Ruh, Al Asma’ul Husna dan lainnya. Beliau wafat pada Rabi’ul Akhir tahun 370 H, pada usia 88 tahun (As Siyar, 3/3212-3213)

[11])  Lihat Tahdziebul Lughah, pada kata (بدع).

[12]) Beliau ialah Al Imam Shahibul ‘Arabiyyah, Al Khalil bin Ahmad bin ‘Amru Al Azdy Al Farahidy Al Bashry. Beliau adalah peletak dasar-dasar ilmu ‘Arudh, orang terdepan dalam hal bahasa Arab, taat beragama, wara’, penuh qana’ah, tawadhu’ dan amat disegani. Beliau berguru kepada Ayyub As Sikhtiyani, ‘Ashim Al Ahwal dan lainnya. Darinyalah Imam Sibawaih menimba ilmu nahwu, demikian pula An Nadhar bin Syumeil, Al Ashma’iy dan yang lainnya. Beliau adalah orang yang super cerdas. Lahir tahun 100H. Diantara karyanya ialah Kitabul ‘Ain (ع), namun belum selesai. Beliau wafat tahun 169 atau 170 H -rahimahullah- (As Siyar, 2/1636).

[13])  Lihat Kitaabul ‘Ain, 2/54.

[14])  Tahdziebul Lughah, pada kata (بدع).

[15]) Ibid. Perhatikan bagaimana Az Zajjaj membedakan antara definisi bid’ah lughawi dengan syar’i. Ia tak sekedar mengatakan bahwa bid’ah adalah melakukan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya. Namun ungkapan selanjutnya menegaskan siapakah pelaku bid’ah itu, yaitu orang-orang yang berbuat menyelisihi sunnah (ajaran) Rasulullah e. Jadi jelaslah bahwa yang dimaksud bid’ah secara syar’i khusus berkaitan dengan agama yang diajarkan Rasulullah e. Sehingga apabila beliau menyatakan bahwa bid’ah itu sesat, maka bid’ah di sini ialah bid’ah secara syar’i.

[16])     At Ta’riefaat 1/13. Oleh Al Jurjani.

[17])  Mengenai maslahat mursalah akan kami bahas secara terpisah pada bab: Antara bid’ah danMaslahat Mursalah hal 44.